BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
POTRET KONDISI HUTAN INDONESIA PERIODE 2000-2009
Hutan Indonesia merupakan salah satu hutan tropis terluas ketiga di dunia dan ditempatkan pada urutan kedua dalam hal tingkat keanekaragaman hayatinya. Keanekaragaman hayati yang ada terdapat di bumi Indonesia meliputi: 10 persen spesies tanaman berbunga, 12 persen spesies mamalia, 16 persen spesies reptilia dan amfibia, 17 persen spesies burung, serta 25 persen spesies ikan yang terdapat di dunia. Namun, potret keadaan hutan Indonesia dari sisi ekologi, ekonomi dan sosial ternyata semakin buram. Kerusakan hutan di Indonesia masih tetap relatif tinggi dari tahun ke tahun. Pertumbuhan sektor kehutanan yang sangat pesat dan menggerakkan ekspor bagi perekonomian pada awal periode 1980-an sampai akhir 1990-an telah mengorbankan hutan karena kegiatan eksploitasi yang tidak terkendali dan dilakukan secara masif tanpa memperhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutan. Konsekuensinya, Indonesia menjadi negara emiter karbon terbesar ketiga di dunia akibat hilangnya hutan karena terjadinya alih fungsi lahan hutan, kebakaran hutan, serta penebangan yang eksploitatif dan tidak terkontrol.
Pada tahun 2000 Forest Watch Indonesia bersama Global Forest Watch menyajikan laporan pertama mengenai kondisi hutan Indonesia. Dan tahun ini, melalui buku Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2000-2009, Forest Watch Indonesia ingin menyajikan laporan penilaian komprehensif mengenai keadaan hutan Indonesia untuk periode 2000-2009. Buku laporan ini menyediakan analisis yang rinci mengenai skala dan tingkat perubahan yang mempengaruhi hutan-hutan Indonesia dan menjawab beberapa pertanyaan penting diantaranya:
· Berapa luas tutupan hutan yang
masih tersisa sepuluh tahun terakhir ini?
· Berapa besar tingkat
deforestasi pada periode sepuluh tahun terakhir ini?
· Berapa luas hutan yang telah
hilang selama 60 tahun terakhir ini?
· Bagaimana proyeksi perubahan
tutupan hutan di setiap pulau pada 20 tahun ke depan?
· Apa saja kekuatan-kekuatan
utama yang menjadi penyebab deforestasi di Indonesia?
· Kenapa RTRWP dinyatakan
berkontribusi terhadap deforestasi di Indonesia?
Seperti buku yang pertama, di dalam buku ini juga menyatakan bahwa laju
deforestasi yang tetap tinggi disebabkan suatu sistem politik dan ekonomi yang
korup, yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber
pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan
pribadi. Penyebab langsung paling utama dari deforestasi dan degradasi hutan
meliputi: ekspansi pertanian, ekstraksi kayu dan pembangunan infrastruktur.
Sementara penyebab utama tidak langsung dari deforestasi meliputi:
faktor-faktor ekonomi makro, faktor tata kelola, dan faktor lain seperti faktor
budaya, faktor demografi dan faktor teknologi. Periode ini, tekanan dari Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (HPH) terhadap eksploitasi
hutan alam sudah mulai berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Turunnya
produktivitas HPH berkaitan dengan semakin banyaknya HPH yang berhenti beroperasi
akibat berbagai sebab, seperti rendahnya komitmen dalam mengelola hutan secara
lestari, lemahnya sumber daya manusia, konflik kawasan yang berakhir pada
penjarahan wilayah-wilayah HPH, termasuk terdapatnya paling tidak 51 unit HPH
dengan luas areal kerja 3 juta ha yang dalam keadaan tidak aktif. Buruknya
kinerja HPH ini tidak luput dari lemahnya kinerja pengurusan hutan dalam hal
pengawasan dan supervisi oleh pemerintah. Berbagai celah akibat lemahnya peran
pemerintah ini menjadi insentif tersendiri bagi unit manajemen HPH untuk
mengeksploitasi areal kerjanya secara destruktif. Pembangunan hutan tanaman
industri (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman) dan
sistem konversi hutan menjadi perkebunan menyebabkan deforestasi bertambah luas.
Banyak pengusaha mengajukan permohonan izin pembangunan HTI dan perkebunan
hanya sebagai dalih untuk untuk mendapatkan keuntungan besar dari Izin
Pemanfaatan Kayu (IPK) pada areal hutan alam yang dikonversi, dan setelah itu
tidak melakukan penanaman. Fakta ini akan diperkuat bila melihat catatan resmi
dari pemerintah terkait realisasi penanaman HTI. Sampai dengan akhir tahun
2007, laju pembangunan HTI selama 10 tahun hanya sebesar 156 ribu ha per tahun.
Tumpang tindih kawasan hutan dengan perkebunan merupakan salah satu
konflik lahan di sektor kehutanan sepanjang sepuluh tahun terakhir. Banyak
kasus menceritakan bahwa konsesi HPH, HTI telah dicaplok oleh perkebunan dan
pertambangan. Pemerintah seolah mendukung kondisi ini, dengan mengeluarkan
kebijakan baru tentang pelepasan kawasan hutan yang arealnya sudah telanjur
rusak. Bahkan pemerintah telah meniadakan batasan areal perkebunan yang semula
maksimal 20 ribu ha setiap provinsi. Kebijakan pemerintah terkait pertambangan
semakin menambah tekanan terhadap sumber daya hutan. Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 4 Tahun 2005 menjadi preseden buruk dengan
membolehkan pertambangan dalam kawasan lindung dengan mekanisme pinjam pakai.
Bahkan kebijakan turunannya, yaitu PP No. 2 Tahun 2008, telah memperkuat perpu
tersebut yang mengatur pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk
izin pinjam pakai kawasan hutan.
Tingkat deforestasi yang tinggi dari tahun ke tahun bisa dipahami dengan
melihat tingginya produksi kayu nasional yang berasal dari ekspansi HTI,
melonjaknya perkebunan sawit dan pertambangan di kawasan hutan pada dasawarsa
terakhir dan tidak tegasnya pemerintah dalam menangani perambahan untuk
aktivitas perkebunan dan pertambangan. Secara garis besar bisa disimpulkan
bahwa deforestasi yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh kebijakan
pemerintah sendiri, salah satunya kebijakan produksi kayu nasional. Buku
laporan mengenai Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2000-2009 disusun
berdasarkan penafsiran citra satelit dan peta-peta terestrial serta berdasarkan
data resmi dan laporan dari pihak pemerintah dan dari lembaga-lembaga pemerhati
lingkungan. Walaupun disadari kesulitan dalam pengumpulan data-data dasar,
tetap menjadi faktor penting untuk menghasilkan sebuah laporan yang komprehensif.
Beberapa kesimpulan dalam buku laporan ini adalah sebagai berikut:
o Dalam kurun
waktu 60 tahun terakhir, tutupan hutan di Indonesia berkurang dari 162 juta ha
menjadi hanya 88,17 juta ha pada tahun 2009. Atau setara dengan sekitar 46,3
persen dari luas total daratan Indonesia.
o Periode
tahun 2000-2009, luas tutupan hutan Indonesia yang terdeforestasi adalah
sebesar 15,15 juta ha, dan deforestasi terbesar terjadi di Kalimantan yaitu
sekitar 5,5 juta ha (36,3 persen).
o Hutan
Lindung yang terdeforestasi sebesar 2 juta ha sementara pada Kawasan Konservasi
kurang lebih 1,27 juta ha.
o Pada tahun
2009 tutupan hutan di lahan gambut sekitar 10,77 juta ha atau sekitar 51 persen
dari luas lahan gambut Indonesia.
o Periode
tahun 2000-2009 tutupan hutan di lahan gambut mengalami deforestasi seluas 2
juta ha dengan sebaran deforestasi terluas terjadi di Sumatera yaitu sekitar
0,98 juta ha.
o Laju
deforestasi pada periode tahun 2000-2009 adalah sebesar 1,5 juta ha per tahun,
dengan laju deforestasi terbesar di Kalimantan yaitu sekitar 551 ribu ha per
tahun.
o Pada tahun
2020 diperkirakan tutupan hutan di Jawa akan habis dan pada tahun 2030 tutupan
hutan di Bali-Nusa Tenggara juga akan habis.
o Sejak tahun
2003 kontribusi sektor kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto, terus
mengalami penurunan yang signifikan. Dan pada tahun 2008, kontribusinya hanya
tinggal 0,79 persen. Kecenderungan penurunan ini menjadi hal yang dipertanyakan
mengingat pada rentang waktu yang relatif sama, produksi kayu bulat nasional justru
mengalami peningkatan.
o Pada tahun
1995 unit Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (Hak
Pengusahaan Hutan) berjumlah 487 unit, sedang pada tahun 2009 turun menjadi 308
unit dengan luas 26,16 juta ha.
o Rentang
waktu tahun 1995-2009, perkembangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
pada Hutan Tanaman (Hutan Tanaman Industri) berkembang secara masif. Pada tahun
1995 hanya 9 (sembilan) unit, menjadi 229 unit pada tahun 2009, dengan luasan
9,97 juta ha.
o Pada tahun
2008, Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri primer hasil hutan kayu (termasuk
kapasitas produksi di atas dan di bawah 6.000 meter kubik per tahun) yang
berasal dari Hak Pengusahaan Hutan adalah 8,4 juta meter kubik. Pada tahun 2008
produksi kayu dari Hutan Tanaman Industri sebesar 22,32 juta meter kubik yang
dialokasikan untuk pemenuhan bahan baku industri dengan kapasitas produksi di
atas 6.000 meter kubik.
o Kuasa
pertambangan memberi tekanan yang besar terhadap kawasan hutan. Hingga tahun
2011 lebih dari 6.000 kuasa pertambangan diterbitkan di dalam kawasan hutan dan
hanya sekitar 200 unit yang telah memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan.
o Tekanan
terhadap kawasan hutan secara tidak langsung diakibatkan oleh kebijakan tentang
penataan ruang wilayah dan kawasan hutan. Mekanisme paduserasi antara Tata Guna
Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP),
tidak diikuti dengan aturan yang jelas dan tegas. Akibatnya, pemda kerap
menjadikan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (belum definitif) sebagai dasar
hukum untuk menerbitkan Izin Usaha Perkebunan dan atau Kuasa Pertambangan di
dalam kawasan hutan.
KERUSAKAN HUTAN (DEFORESTASI) DI INDONESIA
Kerusakan hutan (deforestasi) masih tetap menjadi
ancaman di Indonesia. Menurut data laju deforestasi (kerusakan hutan) periode
2003-2006 yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan, laju deforestasi di
Indonesia mencapai 1,17 juta hektar pertahun. Bahkan kalau menilik data yang
dikeluarkan oleh State of the World’s Forests 2007 yang dikeluarkan The
UN Food & Agriculture Organization (FAO), angka deforestasi Indonesia
pada periode 2000-2005 1,8 juta hektar/tahun. Laju deforestasi hutan di
Indonesia ini membuat Guiness Book of The Record memberikan ‘gelar
kehormatan’ bagi Indonesia sebagai negara dengan daya rusak hutan tercepat di
dunia. Dari total luas hutan di Indonesia yang mencapai 180 juta hektar,
menurut Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (Menteri Kehutanan sebelumnya
menyebutkan angka 135 juta hektar) sebanyak 21 persen atau setara dengan 26
juta hektar telah dijarah total sehingga tidak memiliki tegakan pohon lagi.
Artinya, 26 juta hektar hutan di Indonesia telah musnah. Selain itu, 25 persen
lainnya atau setara dengan 48 juta hektar juga mengalami deforestasi dan dalam
kondisi rusak akibat bekas area HPH (hak penguasaan hutan). Dari total luas
htan di Indonesia hanya sekitar 23 persen atau setara dengan 43 juta hektar
saja yang masih terbebas dari deforestasi (kerusakan hutan) sehingga masih
terjaga dan berupa hutan primer.
Penyebab Deforestasi. Laju deforestasi hutan di
Indonesia paling besar disumbang oleh kegiatan industri, terutama industri
kayu, yang telah menyalahgunakan HPH yang diberikan sehingga mengarah pada
pembalakan liar. Penebangan hutan di Indonesia mencapai 40 juta meter kubik
setahun, sedangkan laju penebangan yang sustainable (lestari
berkelanjutan) sebagaimana direkomendasikan oleh Departemen Kehutanan menurut
World Bank adalah 22 juta kubik meter setahun. Penyebab deforestasi terbesar
kedua di Indonesia, disumbang oleh pengalihan fungsi hutan (konversi hutan)
menjadi perkebunan. Konversi hutan menjadi area perkebunan (seperti kelapa
sawit), telah merusak lebih dari 7 juta ha hutan sampai akhir 1997.
Dampak Deforestasi. Deforestasi (kerusakan hutan)
memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat dan lingkungan alam di
Indonesia. Kegiatan penebangan yang mengesampingkan konversi hutan
mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan yang pada akhirnya meningkatkan
peristiwa bencana alam, seperti tanah longsor dan banjir. Dampak buruk lain
akibat kerusakan hutan adalah terancamnya kelestarian satwa dan flora di
Indonesia utamanya flora dan fauna endemik. Satwa-satwa endemik yang semakin
terancam kepunahan akibat deforestasi hutan misalnya lutung jawa (Trachypithecus
auratus), dan merak
(Pavo muticus), owa jawa (Hylobates moloch), macan
tutul (Panthera pardus), elang
jawa (Spizaetus bartelsi), merpati hutan perak (Columba
argentina), dan gajah
sumatera (Elephant maximus sumatranus).
KONDISI HUTAN DUNIA DAN INDONESIA SAAT INI
Menurut data State of the World’s
Forests 2007’ yang dikeluarkan the UN Food & Agriculture Organization’s
(FAO), angka deforestasi Indonesia 2000-2005 1,8 juta hektar/tahun. Sedangkan
Brazil dalam kurun waktu yang sama 3,1 juta hektar/tahun dengan gelar kawasan
deforestasi terbesar di dunia. Namun karena luas kawasan hutan totalIndonesia
jauh lebih kecil daripada Brasil, maka laju deforestasiIndonesia menjadi jauh
lebih besar. Laju deforestasi Indonesia adalah 2% per tahun, dibandingkan
dengan Brasil yang hanya 0.6%. Tingginya angka deforestasi ini, juga terlihat di
Jambi, berdasarkan analisis peta citra satelit yang dilakukan KKI Warsi dan
Birdlife Indonesia, dalam kurun 10 tahun Jambi kehilangan 1 juta hektar
hutannya. penyebabnya ketidak mampuan aparat penegah hukum untuk mengegakkan
aturan untuk menghentikan aksi-aksi destruktive logging. Padahal segala dampak
nyata akibat kerusakan hutan telah dirasakan, banjir, kekeringan, erosi,
longsor, sedimentasi dan sebagainya. Dampak lainnya yang juga kini mengancam manusia akibat laju
kerusakan hutan adalah berkembangnya berbagai virus yang mematikan. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Hadi S Alikodra, Guru Besar Fakultas Kehutanan
IPB Bogor. Menurutnya perkembangan virus flu burung yang telah merenggut
puluhan jiwa Orang Indonesia sejak dua tahun belakangan ini tidak lepas dari
deforestasi yang tinggi di negeri ini.
Jumlah mikroba yang hidup di alam seimbang
dengan ekosistemnya sehingga tidak sampai menyerang manusia. Tapi apa lacur!
Manusialah yang merusak ekologi mikroba tersebut. Hasilnya: keseimbangan hidup
mikroba pun berubah. Dan perubahan itu menyebabkan mikroba mengalami
transformasi dalam kehidupannya. Mikroba transformatif itulah yang akhirnya
menyerang manusia. Flu burung merupakan penyakit yang menular lewat pernafasan.
Berdasarkan penelitiannya di Cina, penyebab kedua penyakit tersebut adalah
polusi udara dan penebangan hutan yang sewenang-wenang. Polusi udara di Cina
saat ini sudah mencapai tahap yang sangat berbahaya. Kondisi tersebut ditambah
lagi dengan minimnya suplai oksigen (O2) yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Seperti diketahui, suplai oksigen
terbesar berasal dari hutan. Jika hutan itu rusak, maka suplai oksigen pun
berkurang. Dampaknya luar biasa: mikroba akan tumbuh subur dan
perkembangbiakannya tak terkendali. Sebab, oksigen – yang bila terkena sinar
ultraviolet dari matahari berubah menjadi ozon (O3) dan O nascend – adalah
pembunuh mikroba dan virus yang amat efektif. Bila oksigen itu
berkurang, pembunuh mikroba dan virus pun berkurang. Dampaknya, mikroba dan
virus akan makin berkembang, hingga muncullah varian baru virus flu burung
HxNy, dengan yang kini menyerang manusia merupakan farian H5N1. Jadi, apakah kita akan
birakan hutan hancur dan virus, bakteri dan mikroba lain yang selama ini hidup
tenang dihabitatnya gentayangan dengan beragam varian dan siap menyerang
manusia?
Perkiraan
hutan hujan bumi satu abad yang lalu :
Tapi apa yang
terjadi sekarang dengan bumi kita :
berikut ini adalah gambaran hutan indonesia sekarang ini:
apabila kita membahas hutan indonesia pasti yang diutamakan adalah
kalimantan. karena kalimantan adalah pulau terbesar di indonesia yang memiliki
rerimbunan pepohonan dan salah satu pulau yang dijadikan paru-paru bumi.
berikut gambaran hutan hujan di pulau kalimantan, Indonesia priode 1950-2010
dan perkiraan tahun 2020.
Sungguh memprihatinkan bukan? Kalimantan yang dulu hijau sekarang
menjadi tanah tanpa rerimbunan daun. sungguh sangat rusak. padahal hutan ini
menjadi salah satu hutan tropis terbesar yang dimiliki bumi kita. ini patut
kita renungkan dan bagi pemerintah selaku pengelola negeri ini harus segera mengambil
tindakan yang tegas bagi mereka yang merusak hutan seenaknya atau menebang
pohon-pohon tanpa mengelolanya dengan baik. kalau sudah seperti ini siapa yang
dirugikan yaitu satwa-satwa lokal yang tidak berdosa seperti orang utan dan
kucing-kucing besar yang hidup di hutan yang semakin tahun populasi mereka
semakin habis terkikis urusan bisnis semata.
KERUSAKAN HUTAN INDONESIA TERCEPAT DI DUNIA
Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (Walhi) Longgena Ginting mengatakan kerusakan hutan di
Indonesia mencapai 3,8 juta hektar setahun. Ini berarti semenit 7,2 hektar yang
rusak. Jika masih terus terjadi dan kalau tidak dihentikan, maka hutan dataran
rendah Sumatera akan habis pada tahun 2005. Juga dataran rendah di Kalimantan
akan habis pada tahun 2010. Minyak pun, dikatakan Longgena, tidak akan bertahan
dalam waktu 10 tahun.Dari tutupan hutan Indonesia seluas 130 juta hektar,
menurut World Reseach Institute (sebuah lembaga think tank di Amerika Serikat),
72 persen hutan asli Indonesia telah hilang. Berarti hutan Indonesia tinggal 28
persen. Data Departemen Kehutanan sendiri mengungkapan 30 juta hektar hutan di
Indonesia telah rusak parah. Itu berarti 25 persen rusak parah.Ia juga
mengatakan kerusakan hutan juga diakibatkan hutan kemasyarakatan (HKM) dengan
melakukan penggundulan hutan secara legal. Longgena mengaku prihatin mendengar
akan adanya HKM yang mengelilingi taman nasional Rinjani berjarak 10 meter
sekelilingnya. ‘’Ini akal-akalan,’’ ucapnya.
DUNIA BERHARAP PADA HUTAN KITA
Isu permasalahan tentang pemanasan
global atau yang populer dengan istilah Global Warming (GW) menjadi
salah satu isu paling hangat di seluruh dunia belakangan ini. Konferensi
Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim atau
UNFCCC yang dilangsungkan di Bali akhir tahun lalu merupakan salah satu bukti
keseriusan isu lingkungan hidup ini. Global Warming adalah meningkatnya suhu
rata-rata permukaan bumi akibat peningkatan jumlah emisi gas rumah kaca di
atmosfer. Pemanasan global dan perubahan iklim ini terjadi akibat aktivitas
manusia, terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil (minyak
bumi & batubara) serta kegiatan lain yang berhubungan dengan hutan,
pertanian, dan peternakan. Dunia berharap banyak pada Indonesia untuk mengambil
bagian pada konsensi penganggulangan permasalahan GW. Terlebih dikarenakan kondisi hutan
Indonesia yang semakin kritis.
Lalu apa kaitan GW dengan hutan Indonesia?
Hutan dan GW memiliki hubungan yang
cukup erat. Seperti yang telah sering dipaparkan di media massa, gas-gas yang
menjadi penyumbang terbesar pada efek rumah kaca adalah Karbondioksida (CO2),
Metana (CH4) dan Dinitro oksida (N2O). Gas-gas ini selain dihasilkan dari
pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi & batubara) juga berasal dari
penggundulan hutan. Sementara hutan Indonesia adalah paru-paru dunia. Indonesia
adalah kawasan tropis yang memiliki luas hutan sekitar 10% dari luas hutan
dunia. Sebagai paru-paru dunia, hutan Indonesia berfungsi menyerap karbon dan
melepas oksigen dunia. Lebih dari satu dasawarsa yang lalu, berdasarkan hasil
sementara inventarisasi hutan nasional, luas hutan tetap yang masih berhutan
mencapai 92,4 juta hektar. Menurut statistik dunia, angka itu menunjukkan hutan
alam tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire. Angka yang sama
juga mengartikan bahwa 40 persen dari hutan alam tropis yang tersisa di Asia,
berada di Indonesia. Berarti kondisi hutan kita bisa dikata mempunyai nilai
strategis.Tapi ingat, itu adalah kondisi tiga belas tahun yang lalu.
Prestasi atau tragedi?
SKEPHI (Sekretariat Kerjasama
Pelestarian Hutan Indonesia) 2007 dalam press releasenya mengabarkan fakta
mengejutkan. Manifestasi dari kehancuran hutan Indonesia ini dibuktikan dengan
dipecahkannya rekor Guinnes World Record yang menetapkan Indonesia pada 2007
sebagai negara penghancur hutan tercepat. Sebagai salah satu dari 44 negara
yang secara kolektif memiliki 90 persen hutan di dunia, Indonesia meraih
tingkat laju penghancuran tercepat antara 2000-2005, yakni dengan tingkat 1,871
juta hektar atau sebesar 2 persen setiap tahun atau 51 kilometer persegi per
hari. Padahal tingkat kerusakan tersebut merujuk pada data FAO yang bersifat
konservatif.
Prestasi ataukah tragedi? Kita wajib
mengurut dada melihat fakta ini. Sebab, angka kehancuran Indonesia tersebut
merupakan yang tertinggi dari 43 negara lain, disusul oleh Zimbabwe setiap
tahun sebesar 1,7 persen dari luas hutan tersisa, Myanmar 1,4 persen, dan
Brazil hanya 0,6 persen. Kerusakan hutan Indonesia tersebut sebaliknya telah
menyelamatkan hutan Cina sebagai negara tujuan ekspor produk kayu terbesar dari
Indonesia. Luas hutan Cina setiap tahun malah bertambah luas 2,2 persen.
Sebaliknya Indonesia saat ini hanya menyisakan 28 persen hutan primernya. Hutan
primer tersisa, menurut data KLH yang dilansir pada pertengahan tahun 2006,
telah menurun drastis. Hutan tersisa berdasarkan citra satelit di Jawa tinggal
19 persen, Kalimantan 19 persen, dan Sumatera 25 persen; jauh di bawah angka 30
persen, yakni luas hutan tersisa di suatu pulau yang diijinkan oleh
Undang-Undang Kehutanan. Sedangkan hutan tersisa yang berada di atas tingkat
tersebut adalah Papua (71 persen), Sulawesi (43 persen), dan Bali (22 persen).
Sedangkan hutan bakau (mangrove) yang tersisa hanyalah 30 persen dari seluruh
hutan bakau yang ada di tanah air sebelumnya. Bahkan saat ini 43 juta hektar
area hutan telah menjadi lahan kritis. Berdasarkan data kerusakan hutan pada
tingkat 1,8-2,8 juta hektar per tahun tersebut, dalam waktu 15-22 tahun hutan
alam Indonesia akan habis. Untuk pulau Sumatera di perkirakan dalam 5 tahun
mendatang hutan alamnya akan musnah, sedangkan kemusnahan hutan untuk pulau
Kalimantan akan terjadi dalam 10 tahun mendatang. Data kerusakan hutan pada
masing-masing daerah lebih dramatis lagi, misalnya di Provinsi Lampung 50
persen hutannya sudah rusak akibat perambahan. Sedangkan di Provinsi Riau dari
5.939.422 hektar yang tersisa, pada tahun 2015 hanya tinggal 8 persen atau
476.233 hektar. Sementara itu intensitas perambahan hutan di Provinsi Nangroe
Aceh Darussalam (NAD) naik menjadi 463 persen antara tahun 2005 – 2006. Di Provinsi
Bali 26 ribu hektar hutan dari 127 ribu hektar hutan yang ada dalam kondisi
kritis. Di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi sekitar 161.459 hektar hutan
atau seluas 50 persen dari 322.919 hektar hutan yang ada di kawasan tersebut
telah rusak berat. Hutan-hutan gundul juga muncul di daerah ketinggian di
lereng-lereng gunung yang sangat mengkhawatirkan, misalnya lahan gundul di
gunung Sumbing-Sindoro mencapat 2.459,5 hektar.
Kerusakan hutan juga terjadi di
kawasan hutan lindung, sebagai kawasan yang harus tetap dipertahankan
keberadaannya. Indonesia memiliki kawasan hutan lindung seluas 32,43 juta
hektar dari total areal hutan seluas 130,85 juta hektar. Namun pada tahun 2006
terdapat 24,78 persen dari total luas hutan lindung atau setara dengan 6,27 juta
hektar mengalami rusak berat. Sekitar 10 ribu hektar hutan atau 22 persen dari
hutan konservasi di Provinsi Bengkulu rusak berat. Pembalakan liar kini
mengancam Taman Nasional (TN) Sebangun dan TN Kutai. Kerusakan ini diakibatkan
oleh pembalakan liar, konservasi menjadi perkebunan (sawit), okupasi oleh
kegiatan penambangan, dan didistribusikan untuk kegiatan penduduk. TN Bukit Dua
Belas dari hasil pantauan pada tahun 2000 telah menyusut lebih dari 10 persen,
sedangkan TN Gunung Palung efektif tinggal tersisa 17 persen. Hutan primer di
Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman di Bandar Lampung, kini tinggal tersisa
hanya 26 persen. Akibat pengaktifan kembali HPH di Pulau Siberut Kabupaten
Kepulauan Mentawai, maka TN Siberut telah hilang dan hanya menyisakan kawasan
inti seluas 4 persen. Sementara itu 10 persen kawasan TN Kerinci Seblat seluas
8.050 hektar telah menjadi lahan kritis.
Indonesia Ikut Menentukan Nasib Perubahan Iklim Dunia
Berdasarkan paparan data-data di
atas, sudah semestinya pemerintah dan rakyat Indonesia memikirkan
langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan hutan dari penyusutan. Krisis
hutan ini semestinya mendapatkan porsi perhatian yang sama dari pemerintah
layaknya isu krisis ekonomi global yang menampar dunia beberapa waktu lalu. Sayangnya,
urgensi memikirkan dan menerapkan strategi mengatasi permasalahan hutan
Indonesia yang kritis belum menjadi prioritas Pemerintah. Pemerintah hanya
berkonsentrasi sebatas pada isu-isu yang berkaitan dengan masalah ekonomi
global dan isu-isu lain yang sudah mencapai deadlock. Harapan untuk
menyelesaikan permasalahan ini bersandar sepenuhnya pada Pemerintah. Meskipun
harapan ini bak berharap pada pepesan kosong. Sebab, jika mau jujur, sebenarnya
Pemerintah tidak pernah serius mengganggap isu penting ini. Terbukti dengan
dikeluarkannya kebijakan-kebijakan yang paradoks dengan kondisi kritis hutan
Indonesia. Coba tengok, beberapa kebijakan Pemerintah yang memberikan lampu
hijau bagi kegiatan pertambangan di hutan lindung dan di kawasan konservasi.
Hal ini akan semakin memperburuk kondisi kehutanan di Indonesia. Lebih dari 100
kawasan hutan lindung terancam oleh rencana masuknya 150 perusahaan—dengan 22
perusahaan yang mendapat prioritas—yang akan membuka areal pertambangan di
kawasan hutan lindung. Saat ini dunia tengah berharap banyak pada kita, bangsa
Indonesia.
Sebenarnya, jika kita bijak berpikir,
tindakan menyelamatkan hutan Indonesia bukan hanya untuk kepentingan seluruh
masyarakat dunia. Pihak yang terlebih dahulu merasakan manfaat lestarinya hutan
yang kita miliki tentu rakyat Indonesia sendiri. Maka, sudah sangat perlu
kiranya dilakukan langkah-langkah strategis menciptakan sabuk hijau dunia di
sepanjang kepulauan Indonesia. Langkah kecil yang bisa dilakukan masyarakat
adalah dengan menggugah kesadaran bersama untuk menciptakan kelestarian hutan.
Jika tak memungkinkan untuk bertindak langsung pada tataran aksi nyata
reboisasi, masyarakat disadarkan untuk berperan aktif mengawasi kelangsungan
kelestarian hutan. Salah satunya dengan berperan aktif mengawasi bila menemukan
aksi-aksi menyimpang dari para pengguna hak pengelolaan hutan. Hutan Indonesia
adalah milik rakyat Indonesia yang ikut menetukan nasib iklim dunia. Jika bukan
kita—rakyat Indonesia—yang bertindak menyelamatkan, lalu siapa lagi? Masih perlukah
intervensi asing hanya untuk mengelola kelestarian hutan Indonesia? Ayo
Indonesia, selamatkan hutan aset kita! Jangan sampai hutan Indonesia menjadi
kenangan semata.
1.2
Rumusan Masalah
Beberapa masalah yang akan dikaji adalah sebagai berikut
:
ü Bagaimana interaksi
lingkungan ABC dan M dengan melakukan pendekatan Antroposentris serta
pendekatan Holistik?
ü Bagaimana dampak
lingkungan hasil interaksi tersebut?
1.3
Tujuan
Dalam makalah ini, adapun tujuan yang akan dicapai
adalah sebagai berikut:
ü Menganalisis interaksi
lingkungan ABC dan M dengan melakukan pendekatan Antroposentris serta
pendekatan Holistik.
ü Menganalisis dampak
lingkungan hasil interaksi.
BAB II
LANDASAN TEORI
Pengertian dan Definisi Hutan
Hutan bukan hanya sekumpulan
individu pohon tetapi merupakan suatu masyarakat tumbuhan yang kompleks,
terdiri dari pohon juga tumbuhan bawah, jasad renik tanah, dan hewan lainnya.
Satu sama lainnya terjadi hubungan ketergantungan. Hutan merupakan suatu
ekosistem yang dibentuk atau tersusun oleh berbagai komponen yang tidak bisa
berdiri sendiri, tidak dapat dipisah-pisahkan, bahkan saling mempengaruhi dan
saling bergantung. Banyak yang memberi definisi dan pengertian tentang hutan.
Pada Undang - Undang RI No. 41 Tahun 1999 mencantumkan Hutan adalah kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak
dapat dipisahkan. Pendapat lain mendefinisikan Hutan sebagai lapangan yang
ditumbuhi pepohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam
hayati beserta alam lingkungannya atau ekosistem (Kadri dkk., 1992).
Soerianegara dan Indrawan (1982)
mengemukakan Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai atau
didominasi oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda
dengan keadaan diluar hutan. Sedangkan Arief (1994) menulis bahwa Hutan
adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan dan binatang yang hidup dalam lapisan dan di
permukaan tanah dan terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan
ekosistem yang berada dalam keseimbangan dinamis. Walaupun berbagai pendapat
dikemukakan namun semuanya itu mengadung pengertian yang sama. Untuk dapat
dikategorikan hutan, sekelompok pohon-pohon harus mempunyai tajuk-tajuk yang
cukup rapat, sehingga merangsang pemangkasan secara alami, dengan cara menaungi
ranting dan dahan di bagian bawah, dan menghasilkan tumpukan bahan
organic/seresah yang sudah terurai maupun yang belum, di atas tanah mineral. Terdapat
unsur-unsur lain yang berasosiasi, antara lain tumbuhan yang lebih kecil dan
berbagai bentuk kehidupan fauna. Sebatang tanaman muda Pinus merkusii, pohon-pohon di sebuah taman kota dan
sisa-sisa pohon yang tersebar sesudah pembalakan berat tidaklah memenuhi
persyaratan sebagai hutan.
Menurut Spurr (1973), hutan dianggap sebagai persekutuan antara
tumbuhan dan binatang dalam suatu asosiasi
biotis. Asosiasi ini bersama-sama dengan lingkungannya membentuk suatu
sistem ekologis dimana organisme dan lingkungan
saling berpengaruh di dalam suatu siklus energi yang kompleks. Pohon tidak
dapat dipisahkan dari hutan, karena pepohonan adalah vegetasi
utama penyusun hutan tersebut. Selama pertumbuhannya pohon
melewati berbagai tingkat kehidupan sehubungan dengan ukuran tinggi
dan diameternya. Iklim,
tanah
dan air
menentukan jenis tumbuhan
dan hewan
yang dapat hidup di dalam hutan tersebut. Berbagai kehidupan dan lingkungan tempat
hidup, bersama-sama membentuk ekosistem
hutan. Suatu ekosistem terdiri dari semua yang hidup (biotik) dan tidak
hidup (abiotik) pada daerah tertentu dan terjadi hubungan didalamnya. Ekosistem
hutan mempunyai hubungan yang sangat kompleks. Pohon dan
tumbuhan hijau lainnya menggunakan cahaya matahari
untuk membuat makanannya, karbondioksida diambil dari udara, ditambah air
(H2O) dan unsur hara atau mineral yang diserap dari dalam tanah.
Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, mendefinisikan
hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya
alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan
lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan.
Hutan merupakan suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah, yang terletak pada suatu kawasan dan membentuk suatu ekosistem yang berada dalam keadaan keseimbangan dinamis.
Hutan merupakan suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah, yang terletak pada suatu kawasan dan membentuk suatu ekosistem yang berada dalam keadaan keseimbangan dinamis.
Dengan
demikian berarti berkaitan dengan proses-proses yang berhubungan yaitu:
1. Hidrologis, artinya hutan merupakan gudang penyimpanan air dan
tempat menyerapnya air hujan maupun embun yang pada akhirnya akan
mengalirkannya ke sungai-sungai yang memiliki mata air di tengah-tengah hutan
secara teratur menurut irama alam. Hutan juga berperan untuk melindungi tanah
dari erosi dan daur unsur haranya.
2. Iklim, artinya komponen ekosistem alam yang terdiri dari
unsur-unsur hujan (air), sinar matahari (suhu), angin dan kelembaban yang
sangat mempengaruhi kehidupan yang ada di permukaan bumi, terutama iklim makro
maupun mikro.
3. Kesuburan
tanah, artinya tanah hutan merupakan pembentuk
humus utama dan penyimpan unsur-unsur mineral bagi tumbuhan lain. Kesuburan
tanah sangat ditentukan oleh faktor-faktor seperti jenis
batu induk yang membentuknya, kondisi selama dalam proses pembentukan,
tekstur dan struktur tanah yang meliputi kelembaban, suhu dan air tanah, topografi
wilayah, vegetasi dan jasad jasad hidup. Faktor-faktor inilah yang kelak
menyebabkan terbentuknya bermacam-macam formasi
hutan dan vegetasi hutan.
4. Keanekaan genetik, artinya hutan memiliki kekayaan dari
berbagai jenis flora dan fauna.
Apabila hutan tidak diperhatikan dalam pemanfaatan dan kelangsungannya,
tidaklah mustahil akan terjadi erosi genetik. Hal ini terjadi karena hutan semakin
berkurang habitatnya.
5. Sumber daya
alam, artinya hutan mampu memberikan sumbangan hasil alam yang cukup besar
bagi devisa negara, terutama di bidang industri. Selain itu hutan juga
memberikan fungsi kepada masyarakat
sekitar hutan sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Selain kayu juga
dihasilkan bahan lain seperti damar, kopal, gondorukem, terpentin, kayu putih, biofuel dan
rotan serta tanaman
obat-obatan.
6. Wilayah
wisata alam, artinya hutan mampu berfungsi
sebagai sumber inspirasi, nilai estetika, etika dan sebagainya.
Menurut
Marsono (2004) secara garis besar ekosistem sumberdaya hutan terbagi menjadi
dua kelompok besar, yaitu:
a. Tipe Zonal yang dipengaruhi terutama oleh iklim atau disebut klimaks iklim, seperti hutan tropika basah, hutan tropika musim dan savana.
b. Tipe Azonal yang dipengaruhi terutama oleh habitat atau disebut klimaks habitat, seperti hutan mangrove, hutan pantai dan hutan gambut.
a. Tipe Zonal yang dipengaruhi terutama oleh iklim atau disebut klimaks iklim, seperti hutan tropika basah, hutan tropika musim dan savana.
b. Tipe Azonal yang dipengaruhi terutama oleh habitat atau disebut klimaks habitat, seperti hutan mangrove, hutan pantai dan hutan gambut.
Sebagian besar hutan alam di Indonesia termasuk dalam hutan
hujan tropis. Banyak para ahli yang mendiskripsi hutan hujan tropis
sebagai ekosistem spesifik, yang hanya dapat berdiri mantap dengan keterkaitan
antara komponen penyusunnya sebagai kesatuan yang utuh. Keterkaitan antara
komponen penyusun ini memungkinkan bentuk struktur
hutan tertentu yang dapat memberikan fungsi tertentu pula seperti
stabilitas ekonomi, produktivitas biologis yang tinggi, siklus
hidrologis yang memadai dan lain-lain. Secara de facto tipe hutan ini
memiliki kesuburan tanah yang sangat rendah, tanah
tersusun oleh partikel lempung yang bermuatan negatif rendah seperti kaolinite
dan illite. Kondisi tanah asam ini memungkinkan besi dan almunium
menjadi aktif di samping kadar silikanya memang cukup tinggi, sehingga
melengkapi keunikan hutan ini. Namun dengan pengembangan struktur yang mantap
terbentuklah salah satu fungsi yang menjadi andalan utamanya yaitu ”siklus hara tertutup” (closed
nutrient cycling) dan keterkaitan komponen tersebut, sehingga
mampu mengatasi berbagai kendala/keunikan tipe
hutan ini (Marsono, 1997).
Unsur-unsur dalam hutan
terdiri dari :
·
Lapangan yang cukup luas (minimal
1/4 hektar).
·
Adanya tumbuh-tumbuhan, hewan
dan mikro organisme baik berupa mamalia, reptilia,
amphibi, lumut, jamur, serangga maupun dari jenis burung.
·
Penetapan pemerintah, penguasa
atau pihak yang berwenang bahwa lahan itu adalah hutan.
·
Adanya lingkungan hutan dan
hubungan interaktif masing-masing makhluk penghuninya.
Hubungan
keseharian antara makhluk hidup dalam
hutan dan interaksi antara makhluk hidup dengan
lingkungannya telah menciptakan suatu komunitas hutan yang saling terkait.
Hutan Primer dan Hutan Sekunder
Hutan primer (primary forest)
adalah hutan yang
telah mencapai umur lanjut dan ciri struktural tertentu yang sesuai dengan
kematangannya; serta dengan demikian memiliki sifat-sifat ekologis yang
unik. Pada umumnya hutan primer berisi pohon-pohon besar
berumur panjang, berseling dengan batang-batang pohon mati yang masih tegak,
tunggul, serta kayu-kayu rebah. Robohnya kayu-kayu tersebut biasa membentuk
celah atau rumpang tegakan, yang memungkinkan masuknya cahaya matahari ke
lantai hutan, dan merangsang pertumbuhan vegetasi
lapisan bawah. Hutan primer yang minim gangguan manusia biasa disebut hutan perawan. Hutan serupa ini juga
dikenal dengan nama-nama lain dalam bahasa
Inggris seperti old-growth forest, ancient forest, virgin
forest, primeval forest, frontier forest, atau di Britania
Raya, ancient woodland.
Lawan
katanya adalah hutan sekunder, yakni
hutan-hutan yang merupakan hasil regenerasi (pemulihan) setelah sebelumnya
mengalami kerusakan ekologis yang cukup berat; misalnya akibat pembalakan, kebakaran
hutan, atau pun bencana alam. Hutan sekunder umumnya secara
perlahan-lahan dapat pulih kembali menjadi hutan primer, yang tergantung pada
kondisi lingkungannya, akan memakan waktu beberapa ratus hingga beberapa ribu
tahun lamanya. Hutan kayu daun-lebar di Amerika
Serikat bagian timur dapat pulih kembali menjadi hutan primer dalam satu
atau dua generasi tumbuhan, atau antara 150-500 tahun.
Banyak
tegakan hutan primer yang terancam kelestariannya oleh sebab kerusakan habitat yang
diakibatkan oleh pembalakan atau pembukaan hutan. Kehancuran habitat ini pada
gilirannya menurunkan tingkat keanekaragaman hayati, yang memengaruhi bukan
saja kelestarian hutan primer itu sendiri, namun juga keberadaan spesies-spesies asli yang
kehidupannya bergantung pada lingkungan yang disediakan hutan primer.
Hutan primer seringkali merupakan rumah bagi
spesies-spesies tumbuhan
dan hewan yang langka,
rentan
atau terancam kepunahan, yang menjadikan hutan ini
penting secara ekologi.
Meski demikian, keanekaragaman hayati di hutan primer bisa lebih tinggi atau
lebih rendah jika dibandingkan dengan hutan sekunder, bergantung pada berbagai
kondisi lokal, variabel lingkungan setempat, atau pun letak geografisnya.
Penebangan hutan primer adalah isu yang penting di banyak bagian dari dunia.
(Wikipedia : 2012)
Beberapa sifat-sifat
dan ciri hutan primer dapat dijelaskan sebagai berikut :
- Hutan primer di Indonesia karena perbedaan tapak, timbul struktur dan tipe hutan yang beraneka ragam, sehingga tidak ada cara yang berlaku umum untuk pengelolaannya. Masing-masing hutan alam primer harus diteliti untuk mengetahui cara spesifik dalam pengelolaannya. Hutan Primer di Indonesia bagian barat mempunyai karakteristik yanbg berbeda dengan hutan primer di Indonesia bagian Timur.
- Jenis pohon pada hutan primer sangat banyak mencapai 40-80 jenis per ha, sehingga jumlah batang per jenis sangat sedikit. Jumlah jenis pada hutan alam primer di Asia ternggara termasuk di Indonesia diperkirakan 12.000 - 15.000 spesies untuk pohon yang berukuran diameter 10 cm keatas.
- Jenis-jenis pohon bercampur individual walaupun ada juga jenis-jenis yang hidup berkelompok.
- Pada suatu tapak terdapat variasi struktur dan komposisi. Walaupun lokasinya tidak berjauhan tetapi dapat terjadi kemungkinan perpedaan struktur dan komposisi jenis karena kondisi tapak yang berbeda.
- Frekwensi jenis pada umumnya rendah, namun ada juga yang penyebarannya vertikal dan horisontalnya tinggi.
- Struktur penyebaran diameter pohon berbentuk kurva grafik “plenter” (huruf J terbalik ), yaitu jenis dengan diameter yang berukuran kecil lebih banyak dibandingkan dengan diameter yang berukuran besar.
- Pada hutan primer hanya terdapat sedikit batang yang mulus, pohon-pohon besar sering bolong.
- Hanya sedikit (0-20%) jenis pohon niagawi, volume terjual sekitar 0-20 m3/ha, kecuali hutan dipterocarpaceae yang mengandung banyak kayu seragam.
- Riap pertumbuhan pada hutan primer kecil, dalam skala yang luas besarnya nol.
- Walaupun terdapat permudaan namun jumlahnya sering sedikit saja. Hal ini diakibatkan karena tumbuhan-tumbuhan muda hanya dapat memanfaatkan cahaya dari gap atau celah yang terbentuk karena tumbangnya pohon-pohon yang sudah tua. (Anonim: 2012)
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI
Dalam makalah ini, ekosistem hutan
yang akan ditinjau adalah ekosistem hutan bagian taman nasional.
Pengertian Taman Nasional
Kawasan pelestarian alam
adalah kawasan
dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai
fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya (Pasal 1 butir 13 UU No. 5 Tahun 1990). Salah satu bentuk kawasan
pelestarian alam yang kita kenal adalah taman nasional.
Taman Nasional didefinisikan sebagai
kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem
zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (pasal 1 butir 14 UU No. 5 Tahun
1990). Di Indonesia, setidaknya terdapat 45 kawasan yang termasuk taman
nasional.
Taman
Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem
asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam.
Kriteria Penetapan Kawasan Taman Nasional (TN) adalah sebagai berikut :
- Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami;
- Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami;
- Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh sebagai pariwisata alam;
- Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan.
- Merupakan kawasan yang dapat dibagi kedalam Zona Inti, Zona Pemanfaatan, Zona Rimba dan Zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan kosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.
Manfaat taman nasional
Pengelolaan taman nasional dapat memberikan manfaat antara lain:
- Ekonomi : Dapat dikembangkan sebagai kawasan yang mempunyai nilai ekonomis, sebagai contoh potensi terumbu karang merupakan sumber yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi sehingga membantu meningkatkan pendapatan bagi nelayan, penduduk pesisir bahkan devisa negara.
- Ekologi : Dapat menjaga keseimbangan kehidupan baik biotik maupun abiotik di daratan maupun perairan.
- Estetika : Memiliki keindahan sebagai obyek wisata alam yang dikembangkan sebagai usaha pariwisata alam / bahari.
- Pendidikan dan Penelitian : Merupakan obyek dalam pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian.
- Jaminan Masa Depan : Keanekaragaman sumber daya alam kawasan konservasi baik di darat maupun di perairan memiliki jaminan untuk dimanfaatkan secara batasan bagi kehidupan yang lebih baik untuk generasi kini dan yang akan datang.
Kawasan taman nasional dikelola oleh pemerintah
dan dikelola dengan upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya. Suatu kawasan taman nasionali kelola berdasarkan satu
rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi,
teknis, ekonomis dan sosial budaya.
Rencana pengelolaan taman nasional sekurang-kurangnya memuat tujuan pengelolaan, dan garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan kawasan.
Pengelolaan Taman nasional didasarkan atas sistem zonasi, yang dapat dibagi atas :
Rencana pengelolaan taman nasional sekurang-kurangnya memuat tujuan pengelolaan, dan garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan kawasan.
Pengelolaan Taman nasional didasarkan atas sistem zonasi, yang dapat dibagi atas :
- Zona inti
- Zona pemanfaatan
- Zona rimba; dan atau yang ditetapkan Menteri berdasarkan kebutuhan pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Kriteria zona inti, yaitu :
- mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
- mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya.
- mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau tidak atau belum diganggu manusia.
- mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami.
- mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi.
- mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah.
Kriteria zona pemanfaatan, yaitu :
- mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik.
- mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam.
- kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.
Kriteria zona rimba, yaitu :
- kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi.
- memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan.
Gambaran Hutan Konservasi di Sulawesi Tengah
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya.
Dalam bahasa yang sederhana, para pekerja konservasi di Sulawesi Tengah
menyebut bahwa hutan konservasi merupakan benteng terakhir dalam penyelamatan
keanekaragaman hayati tropika. Sehingga, jika jenis hutan ini kondisinya
semakin menurun baik secara kualitas maupun kuantitas akibat degedrasi dan
deforestasi, bagaimana dengan hutan produksi dan hutan lindung?.
Sebagai benteng terakhir dalam penyelamatan keanekaragaman hayati
tropika, keberadaan hutan konservasi berperan penting dalam melestarikan
keanekaragaman flora dan fauna. Menurut Kemenhut (2000), Indonesia memiliki
sekitar 325.000 makhluk, yang merupakan lebih dari 16% makhluk di dunia.
Indonesia, bersama Brazil, Zaire dan Meksiko tergolong negara megabiodiversity.
Sayangnya, sejak lama telah terjadi perusakan hutan, sehingga sejumlah tumbuhan
dan satwa telah punah atau menjadi langka.
Untuk mengenal wilayah Sulawesi Tengah, akan lebih afdol jika
mengenal kekayaan hutannya juga. Mengingat, 4.394.932 ha atau sekitar 64% dari
wilayah ini (6.803.300 ha) merupakan kawasan hutan. Berikut adalah gambaran
sekilas tentang kawasan hutan konservasi yang ada di sulawesi tengah, yang
dibedakan menjadi kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan Taman Buru.
(1)
Kawasan Suaka Alam
Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di
darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi
sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
Termasuk dalam kategori kawasan ini adalah Cagar Alam dan Suaka
Margasatwa. Kedua kategori kawasan tersebut dilindungi secara ketat, sehingga
tidak boleh ada sedikitpun campur tangan manusia dalam proses-proses alami yang
terjadi di dalam kawasan tersebut. Kawasan in hanya diperuntukkan bagi
keperluan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Saat ini di Provinsi Sulawesi Tengah
terdapat 8 unit Cagar Alam dengan total luas 378.894,82 ha, dan 7 unit Suaka
Margasatwa dengan luas 68.144,00 ha.
Cagar Alam
- Cagar Alam Pangi Binangga, dengan luas kawasan 6.000 Ha, terletak di Kab. Parigi Moutong, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat babirusa, habitat anoa, habitat rangkong dan burung lainnya, habitat monyet hitam, dan kayu ebony.
- Cagar Alam Gunung Tinombala, dengan luas kawasan 37.106,12 Ha, terletak di Kab. Donggala, Tolitoli & Parigi Moutong, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat babirusa, habitat anoa, kayu ebony, dan fungsi hidroorologis.
- Cagar Alam Gunung Sojol, dengan luas kawasan 64.448,71 Ha, terletak di Kab. Donggala, Tolitoli & Parigi Moutong, potensi utama kawasan adalah habitat kayu ebony.
- Cagar Alam Gunung Dako, dengan luas kawasan 19.590,20 Ha, terletak di Kab. Tolitoli & Buol, potensi utama kawasan adalah hidroorologis, dan habitat flora-fauna.
- Cagar Alam Tanjung Api, dengan luas kawasan 4.246,00 Ha, terletak di Kab. Tojo Una-Una, potensi utama kawasan adalah sebagai sumber api alam.
- Cagar Alam Morowali, dengan luas kawasan 209.400,00 Ha, terletak di Kab. Poso & Morowali, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat maleo, babirusa, habitat anoa, habitat rangkong dan burung lainnya, dan fungsi hidroorologis.
- Cagar Alam Pati-Pati, dengan luas kawasan 3.103,79 Ha, terletak di Kab. Banggai, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat maleo, dan habitat monyet hitam.
- Cagar Alam Pamona, dengan luas kawasan 35.000,00 Ha, terletak di Kab. Poso, potensi utama kawasan adalah sebagai hidroorologis, dan habitat flora-fauna.
Suaka Margasatwa
- Suaka Margasatwa Pulau Dolangon, dengan luas kawasan 462,50 Ha, terletak di Kab. Tolitoli, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat penyu dan habitat maleo.
- Suaka Margasatwa Pinjan Matop, dengan luas kawasan 1.612,50 Ha, terletak di Kab. Tolitoli, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat maleo, dan habitat penyu.
- Suaka Margasatwa Bakiriang, dengan luas kawasan 12.500,00 Ha, terletak di Kab. Banggai, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat maleo.
- Suaka Margasatwa Lombuyan, dengan luas kawasan 3.069,00 Ha, terletak di Kab. Banggai potensi utama kawasan adalah sebagai rusa.
- Suaka Margasatwa Pulau Pasoso, dengan luas kawasan 5.000,00 Ha, terletak di Kab. Donggala, potensi utama kawasan adalah habitat penyu dan habitat burung gosong.
- Suaka Margasatwa Pulau Tiga, dengan luas kawasan 42.000,00 Ha, terletak di Kab. Morowali, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat biota Laut dan terumbu karang.
- Suaka Margasatwa Tanjung Santigi, dengan luas kawasan 3.500,00 Ha, terletak di Kab. Donggala, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat buaya muara.
(2)
Kawasan Pelestarian Alam
Adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di
perairan yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemnafaatan secara
lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Termasuk ke dalam
kategori kawasan ini adalah Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (Tahura) dan
taman wisata alam (TWA).
Taman Nasional
Merupakan
kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekositem asli yang dikelola dengan
sistem zonasi untuk keperluan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya
tumbuhan dan/atau satwa, pariwisata dan rekreasi. Sekarang ini di Provinsi
Sulawesi Tengah telah ada 2 unit Taman Nasional yaitu Taman Nasional Lore
Lindu dengan luas 217.991,18 Ha, dan Taman Nasional Kepulauan Togean dengan
luas 362.605,00 Ha., Kabupaten Tojo Una-Una.
Taman
Nasional Lore Lindu
Merupakan salah satu kawasan pelestarian alam di Indonesia yang terletak
di jantung Pulau Sulawesi, dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, karena
berada di daerah walacea, pada titik pertemuan 3 lempeng dunia pada
awal pembentukan Pulau Sulawesi. Secara internasional (UNESCO,1977), Taman
Nasional Lore Lindu telah ditunjuk sebagai kawasan cagar biosfer dunia, untuk
mengembangkan hubungan yang selaras antara kesejahteraan hidup masyarakat dan
kelestarian hutan.
Taman Nasional Lore Lindu memiliki potensi flora dengan 5000 sepesies
flora yang sudah terdata, dan 287 Jenis tumbuhan sebagai bahan baku untuk 415
jenis material obat tradisional. Sedangkan potensi fauna yang dimiliki meliputi
127 mamalia(30% endemik Sulteng); 117 reptile(60% endemik Sulteng); 328
Sepesies burung (27% Endemik Sulteng); 25 amphibia (76% endemik Sulteng); dan 68
ikan (68 % endemik Sulteng). Taman Nasional Lore Lindu merupakan habitat bagi
267 jenis burung di Sulawesi, 97 diantaranya merupakan spesies endemik. Lembaga
Internasional (BirdLife) menetapkan kawasan ini sebagai Bird
Endemic Area. Beberapa spesies endemik, antara lain : Elang Sulawesi
(Spizaetus lanceolatus), Nuri Sulawesi (Tanygnatus sumatrana),
Rangkong (Rhyticeros cassidix), Maleo (Macrocephalon maleo) serta
lainnya.
Taman Nasional Lore Lindu juga menyimpan potensi sosial budaya dengan 430
obyek Megalith. 348 terletak di Lore Utara, 55 di Lore Selatan, dan 27 di
Kulawi, dalam beragam bentuk seperti Patung/Arca; Kalamba; Tutu’na (tutup
kalamba) serta Dakon (bentuk-bentuk ukiran pada batu). Potensi lainnya,
misalnya kesenian dan pakaian tradisional dari 4 etnis utama (etnis kaili,
pekurehua, behoa dan bada). Terdapat kelompok-kelompok musik bambu, tarian
dero/moraego yang diselenggarakan pada perayaan panen serta pembuatan
kain dari kulit kayu (fuya).
Taman Hutan Raya
Taman hutan
raya merupakan kawasan pelestarian alam yang ditetapkan untuk tujuan koleksi
tumbuh-tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau bukan alami, dari jenis asli
atau bukan asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya tumbuhan dan/atau satwa, budaya,
pariwisata, dan rekreasi. Saat ini terdapat 1 unit Taman Hutan Raya yaitu
Tahura Palu yang luasnya sekitar 7.128 Ha, terletak di Kabupaten Sigi Biromaru
dan Palu.
Taman Wisata Alam
Taman wisata
alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan
bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Saat ini di Provinsi Sulawesi
Tengah terdapat 2 unit Taman Wisata Alam, sbb:
- Taman Wisata Alam Bancea dengan luas sekitar 5.000 Ha, dengan potensi utama sebagai habitat rangkong dan burung lainnya, serta anggrek alam.
- Taman Wisata Alam Air Terjun Wera dengan luas sekitar 250 Ha, potensi utama sebagai air terjun.
Sedangkan
untuk taman wisata alam laut terdapat 5 unit TWL dengan luas sekitar
176.312,00 Ha, dengan rincian sebagai berikut:
- Taman Laut Teluk Tomori, dengan luas 7.200,00 Ha, terletak di Kab. Morowali, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat biota laut.
- Taman Laut Pulau Tokobae, dengan luas 1.000,00 Ha, terletak di Kab. Morowali, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat biota laut.
- Taman Wista Laut Tosale, dengan luas 5.000,00 Ha, terletak di Kab. Donggala, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat biota laut dan terumbu karang.
- Taman Wista Laut Pulau Peleng, dengan luas 17.462,00 Ha, terletak di Kabupaten Banggai Kepulauan, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat biota laut dan terumbu karang.
- Taman Wista Laut Kepulauan Sago, dengan luas 153.850,00 Ha, terletak di Kabupaten Banggai Kepulauan, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat biota laut dan terumbu karang.
(3)
Taman Buru
Taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata
berburu. Saat ini terdapat 1 unit taman wisata buru yaitu Taman Buru Landusa,
dengan luas 5.000,00 Ha, terletak di Kab. Poso & Morowali, potensi utama
kawasan adalah sebagai penangkaran rusa, anoa dan babi rusa.
Taman Nasional yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah Taman Nasional Lore Lindu (TM LL) yang berada
di Sulawesi Tengah.
Taman Nasional Lore Lindu – Sulawesi Tengah
Taman Nasional Lore Lindu memiliki
berbagai tipe ekosistem yaitu hutan pamah tropika, hutan pegunungan bawah,
hutan pegunungan sampai hutan dengan komposisi jenis yang berbeda. Secara
administratif terletak dalam 2 (dua) wilayah kabupaten yaitu sebagian besar di
Kabupaten Donggala dan sebagian lagi di Kabupaten Poso, terbagi dalam 6
kecamatan yaitu: Kecamatan Kulawi, Sigibiromaru, Palolo di Kabupaten Donggala
dan Kecamatan Lore Utara, Lore Selatan, Lore Tengah di Kabupaten Poso.
Letak kawasan
Secara geografis pada posisi 119°58’–120° 16’ BT dan 1°8’–1°3’ LS. Secara
administratif terletak dalam 2 (dua) wilayah kabupaten yaitu sebagian besar di
Kabupaten Donggala dan sebagian lagi di Kabupaten Poso, terbagi dalam 6
kecamatan yaitu: Kecamatan Kulawi, Sigibiromaru, Palolo di Kabupaten Donggala
dan Kecamatan Lore Utara, Lore Selatan, Lore Tengah di Kabupaten Poso.
Luas kawasan
Luas kawasan
- Surat Menteri Pertanian No. 736/Menteri/X/1992 tanggal 14 Oktober 1982 luas kawasan Taman Nasional Lore Lindu adalah 231.000 ha.
- Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 593/Kpts-II/1993 luas kawasan Taman Nasional Lore Lindu adalah 229.000 ha.
- Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 464/Kpts-II/1999 tanggal 23 Juni 1999, Taman Nasional Lore Lindu dikukuhkan dengan luas kawasan 217.991,18 ha, luas inilah yang menjadi dasar pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu saat ini.
Status kawasan dan status pengelolaannya
- Status kawasan Taman Nasional Lore Lindu telah dikukuhkan pada tanggal 23 Juni 1999 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 464/Kpts-II/1999.
- Status Pengelolaannya, di kelola oleh Balai Taman Nasional Lore Lindu sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997 tentang organisasi dan tata kerja Balai Taman Nasional dan Unit Taman Nasional.
Batas Kawasan
- Dibagian utara dibatasi oleh Dataran Palolo, sebelah timur oleh dataran Napu, sebelah selatan Dataran Bada, dan sebelah barat oleh sungai Lairiang dan hulu sungai Palu (lembah Kulawi).
- Telah ditata batas ketemu gelang oleh Sub BIPHUT Palu.
Topografi
Taman Nasional Lore Lindu berada pada ketinggian 200-2610 meter di atas permukaan laut, puncak tertinggi adalah Gunung Nokilalaki (2355 m) dan gunung Tokosa/Rorekatimbu (2610 m). Bentuk topografi bervariasi mulai dari datar, landai, agak curam, curam, hingga sangat curam.
Geologi
Taman Nasional Lore Lindu terletak antara dua patahan utama di Sulawesi Tengah. Pada daerah pegunungan, umumnya berasal dari batuan asam seperti Gneisses, Schists dan granit, punya sifat peka terhadap erosi.
Formasi lakustrin banyak ditemukan di bagian Timur Taman Nasional, umunya dataran danau yang datar atau berawan. Bahan endapan dari campuran batuan sediment, metamorfosa dan granit.Bagian barat ditemukan formasi alivium yang umumnya berbentuk kipas aluvial/koluvial atau dataran hasil deposisi sungai seperti teras atau rawa belakang. Sumber bahan aluvial ini berasal dari batuan metaforfosa dan granit.
Tanah
Keadaan tanah di Taman Nasional Lore Lindu bervariasi dari yang belum berkembang (entisol), sedang berkembang (inseptisol) sampai sudah berkembang (alfisol) dan sebagian kecil ultisol.
Taman Nasional Lore Lindu berada pada ketinggian 200-2610 meter di atas permukaan laut, puncak tertinggi adalah Gunung Nokilalaki (2355 m) dan gunung Tokosa/Rorekatimbu (2610 m). Bentuk topografi bervariasi mulai dari datar, landai, agak curam, curam, hingga sangat curam.
Geologi
Taman Nasional Lore Lindu terletak antara dua patahan utama di Sulawesi Tengah. Pada daerah pegunungan, umumnya berasal dari batuan asam seperti Gneisses, Schists dan granit, punya sifat peka terhadap erosi.
Formasi lakustrin banyak ditemukan di bagian Timur Taman Nasional, umunya dataran danau yang datar atau berawan. Bahan endapan dari campuran batuan sediment, metamorfosa dan granit.Bagian barat ditemukan formasi alivium yang umumnya berbentuk kipas aluvial/koluvial atau dataran hasil deposisi sungai seperti teras atau rawa belakang. Sumber bahan aluvial ini berasal dari batuan metaforfosa dan granit.
Tanah
Keadaan tanah di Taman Nasional Lore Lindu bervariasi dari yang belum berkembang (entisol), sedang berkembang (inseptisol) sampai sudah berkembang (alfisol) dan sebagian kecil ultisol.
Iklim, Suhu, Curah Hujan, kelembaban
Bagian utara kawasan Taman Nasional Lore Lindu mempunyai tipe iklim C/D (musiman) dengan curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 855-1200 mm/tahun. Bagian Timur kawasan Taman Nasional Lore Lindu punya tipe iklim B (agak musiman) dengan curah hujan berkisar antara 344-1400 mm/tahun. Bagian barat Taman Nasional Lore Lindu punya tipe iklim A (lembab permanen) dengan curah hujan rata-rata tahunan antara 1200-2200 mm/tahun.
Secara keseluruhan curah hujan di Taman Nasional Lore Lindu bervariasi dari 2000-3000 mm/tahun di bagian utara dan 3000-4000 mm/tahun di bagian Selatan.
Suhu/temperatur berkisar antara 22-340 C, rata-rata kelembaban udara 98% dengan kecepatan angin rata-rata 3,6 km/jam.
Hidrologi
Taman Nasional Lore Lindu mempunyai fungsi tangkapan air yang besar, didukung oleh dua sungai besar yaitu sungai Gumbasa di bagian utara yang bergabung dengan sungai Palu di bagian barat serta sungai Lariang di bagian Timur, selatan, dan baratnya. Fungsi hidrologis ini sangat besar manfaatnya bagi masyarakat sekitar kawasan dan Sulawesi Tengah umumnya.
Aksesibilitas
Dapat dicapai melalui jalur darat dari kota Palu. Lokasi yang dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat adalah Palu-Seksi Konservasi Wilayah I Kulawi, Palu-Seksi Konservasi Wilayah II Kamarora, Palu-Seksi Konservasi Wilayah III Wuasa, ada beberapa resort yang hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki/naik kuda yaitu jalur Gimpu-Bada, Bada-Doda dan Rahmat-Dataran Lindu.
Ekosistem
Ada dua ekosistem utama di Taman Nasional Lore Lindu yaitu:
Ada dua ekosistem utama di Taman Nasional Lore Lindu yaitu:
- Ekosistem hutan hujan dataran rendah
- Ekosistem hutan hujan pegunungan.
- Di samping kedua ekosistem utama, juga terdapat 2 sub-zone, yaitu:
- Sub zone hutan hujan pegunungan yang merupakan transisi antara ekosistem hutan hujan dataran rendah dan hutan hujan pegunungan.
- Sub-zone alpin hutan pegunungan merupakan transisi antara hutan pegunungan dan hutan alpin.
Vegetasi, Flora
- Vegetasi hutan hujan dataran rendah: Komposisi floranya lebih beragam. Flora yang ditemukan antara lain: Pawa (Mussaendopsis beccariana), Tahiti (Dysoxylum sp.), Nunu (Ficus sp.), ngkera dan lawedaru (Myristica spp.), Mpora dan Mpire (Caryota spp.), Saguer (Arenga pinnata), Take (Arenga sp.), uru ranto (Elmerilia ovalis), Luluna (Strychnos axillaris), Palaku (Celtis sp.), Ntorade (Pterospermum subpeltatum), Ndolia (Canangium odoratum), tea here (Artocarpus elasticus), tea uru (Artocarpus teijmannii), duria (Durio zibethinus), Wara dilameo (P. hirsuta), bambu pemanjat (Dinochloa scandens), Elastostema, Costus, Cyrtandra, Nephrolepis, Neuburgia.
- Vegetasi hutan hujan pegunungan
Flora yang ditemukan antara lain: Kaha (Castanopsis argentea), Palili bahe, palili nete, palili pance (Lithocarpus spp.). Agathis philippinensis, Podocarpus neriifolia, Podocarpus imbricatus, Taxus baccatus, Dacrydium falcifolia, Phyllocladus hypophyllus, Tristania whiteana dan Tristania sp., Calophyllum spp., Garcinia spp., Tetractonia haltumi, Polyosma integrifolia dan Gynotraches axillaris, Coelogyne, Thelasis, Appendicula, Glomera, Phreatia, Elastostema, Cyrtandra, Goniophlebium persicifolium, Oleandra neliiformis, Diplazium bantamense. - Vegetasi sub hutan hujan
pegunungan
Flora yang ditemukan: kelompok uru (Magnoliaceae), uru ranto (Elmerillia ovalis), uru tomu (Elmerillia sp.), Elmerillia celebica, Manglietia glauca, Talauma liliiflora, konore (Adinandra sp.), pangkula, ntangoro (Ternstroemia spp.), kauntara (Meliosma nitida), kau tumpu (Turpinia sphaerocarpa), mpo maria (Engelhardtia serrata). - Vegetasi Sub Hutan Alpin
Flora yang ditemukan: Leptospermum, Rapanea, Myrsine, Phyllocladus hyphophyllus, Eugenia sp., paku pohon (Alsophylla sp.), jenis palem (Pinanga)
Fauna
- Mamalia besar
Anoa atau kerbau kerdil, satwa endemik Sulawesi. Nama daerah: sapi utan, anoang, kerbau pendek, dangko, Bondago tutu, buulu, tutu dan sako. Dua jenis anoa di Taman Nasional Lore Lindu yaitu anoa Quarlesi dan anoa deoressicornis. Babi rusa (Babyrousa babyrusa), babai Sulawesi (Sus celebensis), Macaca tonkeana, Phalanger ursinus, kus-kus sulawesi (P. celebencis), Tarsius Sulawesi (Tarsius spectrum), Rusa (Cervus timorensis). - Burung
Sekitar 263 jenis burung ditemukan di Sulawesi, 30 % diantaranya merupakan endemik, 66 jenis dari burung endemik ini ditemukan di Taman Nasional Lore Lindu. Jenis burung antara lain Nuri Sulawesi (Tanygnatus sumatrana), Loriculus exilis, Trichologssus platurus, Cacatua sulphurea, Rangkong (Buceros rhinoceros dan Aceros cassidix), Pecuk ular (Anhinga rufa), Rallus plateni, Scolopax celebencis, Tyto inexspectata, Geomalia heinrichi, Macrocephalon maleo, Megapodius frecycynent. - Reptil
Ular pyton (Phyton reticulatus), ulara Racers (Elaphe erythrura, Gonyosonia janseni, Mack viver (Psammodymaster pulverulenthus dan Xemopeltis unicolor), king cobra (Ophiophagus hannah)
Keadaan penduduk di sekitar kawasan
Taman Nasional Lore Lindu Taman Nasional Lore Lindu secara fisik berbatasan
langsung dengan + 61 desa yang tersebar dalam 6 kecamatan di 2 kabupaten yaitu
sebagai berkut:
- Di dalam kawasan di luar enclave : Katu; di enclave di luar kawasan : (1) lembah Besoa: desa-desa Doda, Bariri, Lempe dan Hanggira serta desa translok Baliura. (2) lembah Lindu : desa-desa Puroo, Langko, Tomado dan Anca.
- Di luar Taman Nasional Lore Lindu tapi sangat mepet sekali dengan batas fisik Taman Nasional Lore Lindu ada 51 desa dalam 6 Kecamatan yaitu dari timur putar searah jarum jam : Kec. Lore Utara, Lore Tengah, Lore Selatan (ketiga Kec. ini di Kab Poso), Kec Kulawi, Kec. Sigibiromaru, dan Kec Palolo (ketiga Kec.ini di Kab Donggala).
- Penduduk
Berdasarkan data yang ada, jumlah penduduk dari 6 (enam) wilayah kecamatan di sekitar Taman Nasional Lore Lindu adalah 68.377 jiwa dari 16.600 KK.
|
|||
DATA DESA - DESA SEKITAR KAWASAN
|
|||
YANG PERNAH DILAKSANAKAN KEGIATAN PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT)
|
|||
UPT : Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu
|
|||
Luas
Kawasan : 217. 991, 18 Ha
|
|||
No
|
DESA
PENYANGGA
|
LETAK
|
Kegiatan
Pemberdayaan Masyarakat Tahun
|
1
|
Anca
|
Diluar
kawasan TNLL
|
2005,
2006, 2007
|
2
|
Baku
Bakulu
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
3
|
Baliura
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
4
|
Bariri
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
5
|
Betue
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
6
|
Bewa
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
7
|
Bobo
|
Diluar
kawasan TNLL
|
2005,
2006, 2007
|
8
|
Bolapapu
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
9
|
Bomba
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
10
|
Bora
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
11
|
Bunga
|
Diluar
kawasan TNLL
|
2005
|
12
|
Doda
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
13
|
Dodolo
|
Diluar
kawasan TNLL
|
2005,
2006, 2007
|
14
|
Gimpu
|
Diluar
kawasan TNLL
|
2007
|
15
|
Gintu
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
16
|
Hanggira
|
Diluar
kawasan TNLL
|
2005,
2006, 2007
|
17
|
Kadidia
|
Diluar
kawasan TNLL
|
2007
|
18
|
Kaduwaa
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
19
|
Kageroa
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
20
|
Kalawara
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
21
|
Kamarora
|
Diluar
kawasan TNLL
|
2007
|
22
|
Kapiroe
|
Diluar
kawasan TNLL
|
2005,
2006, 2007
|
23
|
Katu
|
Dalam
kawasan TNLL
|
-
|
24
|
Kolori
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
25
|
Lambara
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
26
|
Langko
|
Diluar
kawasan TNLL
|
2005,
2006, 2007
|
27
|
Lawua
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
28
|
Lelio
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
29
|
Lempe
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
30
|
Lempelero
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
31
|
Lengkeka
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
32
|
Makmur
|
Diluar
kawasan TNLL
|
2007,
2008, 2009
|
33
|
Mataue
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
34
|
Moa
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
35
|
Namo
|
Diluar
kawasan TNLL
|
2006,
2007
|
36
|
Omu
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
37
|
O'o
Perese
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
38
|
Pada
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
39
|
Pakuli
|
Diluar
kawasan TNLL
|
2006,
2007, 2008
|
40
|
Pandere
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
41
|
Pili
Makujawa
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
42
|
Puroo
|
Diluar
kawasan TNLL
|
2006,
2007, 2008
|
43
|
Rahmat
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
44
|
Rompo
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
45
|
Sadaunta
|
Diluar
kawasan TNLL
|
-
|
46
|
Salua
|
Diluar
kawasan TNLL
|
2007
|
47
|
Saluki
|
Diluar
kawasan TNLL
|
2007,
2008, 2009
|
Sejarah
Taman Nasional Lore Lindu
Geologi
TNLL berdasarkan peta-peta geologi yang diproduksi oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi Indonesia, lembar kuadrangel Poso oleh Simanjuntak et al.
(1997) edisi kedua dan lembar kuadrangel Pasangkayu oleh Sukido et al. (1993).
Informasi latar belakang tambahan pada dasarnya diambil dari Whitten et al.
(1987) dan Hall (1998).
Diistilahkan
dengan "demented spider shape" dari pulau Sulawesi yang sering
digunakan adalah hasil dari sejarah geologi yang sangat kompleks serta belum
sepenuhnya digali. Wilayah ini dianggap sebagai salah satu wilayah geologi
paling kompleks di muka bumi. Pemahaman yang ada saat ini adalah secara
geologis pulau ini terbentuk dari beberapa bagian. Satu bagian membentuk Sulawesi
bagian utara dan sebagian bagian barat, satu bagian membentuk bagian timur dan
daerah-daerah selatan - tengah. Wilayah yang lebih kecil dari pulau ini,
seperti Banggai-Sula di sebelah timur dibentuk dari bagian dari daerah lain.
Lempengan-lempengan geologi ini bertabrakan satu sama lain yang diakibatkan
oleh pergerakan tektonik.
Dalam
literatur geologi secara luas, diketahui bahwa wilayah sebelah timur daratan
Sulawesi berasal dari sebuah pecahan Gondwanaland. Banyak pendapat berbeda atas
daerah asal dari wilayah Barat Daratan Sulawesi. Pendapat yang lama yang ada
cenderung menganggapnya sebagai bagian yang pernah menjadi bagian dari
Laurasia, seiring dengan bagian yang lebih besar dari wilayah Barat Indonesia.
Baru-baru ini, banyak penulis geologi seperti Whitten berpendapat bahwa daerah
tersebut merupakan patahan zaman Jurassic dari Gondwanaland. Laporan di bawah
ini sejalan dengan pendapat Whitten. Terdapat pula beberapa diskusi yang
mengarah pada asal dari cabang wilayah utara Sulawesi. Hal tersebut masih
dianggap sebagai bagian dari daratan Sulawesi Barat/lempeng mikro, tetapi
kemungkinan pernah terpisah.
- Jurassic/200-250 Juta Tahun yang Lalu
Wilayah
Barat Sulawesi (bersama-sama dengan Thailand, Malaysia, Burma dan Sumatera)
merupakan patahan besar Gondwanaland sebagai hasil dari pembukaan daerah lautan
utama sebelah timur-barat yang terletak di bagian utara Australia. Daerah
sebelah Barat Sulawesi, bersama-sama dengan sebagian besar pulau yang membentuk
kepulauan Indonesian, pada saat itu berada di sebelah utara dari daerah
tersebut. Daerah sebelah Utara Sulawesi dan Banggai-Sula terletak di Selatan
patahan batas plat Indo-Australian, terletak dekat dengan daratan luas yang
kemudian menyatu menjadi Papua New Guinea.
- Cretaceous 145-70 Juta Tahun yang Lalu
Dengan
rotasi yang terus-menerus dari Australia dalam arah berlawanan jarum jam dan
gerakan umum tektonik, daerah sebelah Utara Sulawesi terbawa ke arah Barat laut
dan mulai melapisi di bawah daerah sebelah Barat Sulawesi.
- Palaeocene (70-60 Juta Tahun yang Lalu)-Eocene (60-40 Juta Tahun yang Lalu)
Pelapisan
bertingkat berlanjut dan pembentukan daerah vulkanis di Barat Sulawesi dimulai
karena daerah Sulawesi Timur didesak ke wilayah Barat Sulawesi pada kecepatan
berkisar 10 cm/tahun. Banyak dari energi yang dikeluarkan karena strata
terangkat, berubah bentuk dan pecah. Ssedangkan batu-batuannya bermetamorfosis.
Penelitian baru-baru ini menyimpulkan bahwa bagian-bagian utama dari Sulawesi
masih merupakan bagian yang agak jauh pada akhir dari zaman Eocene dan sebagian
besar dari daratan yang pada akhirnya akan menjadi Sulawesi masih berada di
bawah permukaan air.
- Oligocene 40-25 Juta Tahun yang Lalu
Daerah
Banggai-Sula bergerak ke arah barat dan pelapisan sebelah Timur Sulawesi
berlanjut. Wilayah sebelah Barat Sulawesi kurang lebih mencapai posisinya saat
ini. Pada zaman pertengahan Oligocene, sekitar 30 juta tahun lalu,
bagian-bagian utamanya membentuk sebuah bentuk bulan sabit dengan pergerakan
daerah sebelah timur Sulawesi ke selatan, Sulawesi Barat hanya ke utara dengan
porosnya bergerak ke arah daya-timur laut dan wilayah yang akan menjadi cabang
sebelah utara Sulawesi terbentang ke arah barat timur laut. Pada akhir zaman
Oligocene daerah timur Sulawesi melanjutkan untuk bergerak ke arah utara dan bertabrakan
dengan daerah barat Sulawesi. Akan tetapi, patahan-patahan besar dan kecil yang
membentuk cabang sebelah utara mungkin masih terpisah. Diagram-diagram Hall
menyarakankan bahwa pada saat ini wilayah- wilayah dari daerah barat Sulawesi
masih di bawah permukaan air, sementara sebagian besar dari daerah utara berada
di atas permukaan air.
- Middle-Miocene 16.5-11 Juta Tahun yang Lalu
Daerah
utama akhirnya bersatu. Batu-batuan dari sebelah Barat Sulawesi sebagian
menolak batu-batuan dari Banggai-Sula. Pembentukan wilayah vulkanik menyebar
melebihi daerah sebelah Barat Sulawesi dan terobosan-terobosan aktivitas
vulkanik bawah laut terjadi di wilayah dimana Taman National Lore Lindu saat
ini berada. Dari zaman Pertengahan Miocene sampai memasuki Pliocene,
terobosan-terobosan dari endapan tipe mollase tersimpan sepanjang daerah utama.
- Pliocene (10-1 juta tahun yang lalu)
Intrusi
batuan granit yang utama terjadi sepanjang daerah yang telah bersatu. Batuan
plutonik Kambuno granit dan gronodiorit yang banyak mendasari TNLL terbentuk
dalam periode ini pada sekitar 3 juta tahun yang lalu (Sukamto, 1975).
Pergerakan yang ada mengarah ke pembentukan dari jenis daratan saat ini, juga
terjadi pada periode ini.
Sulawesi
bertabrakan dengan Kalimantan pada akhir zaman Pliocene - kurang lebih 3 juta
tahun BP. Pulau ini pada waktu itu sangat dekat dengan tetangganya yang lebih
besar selama masa-masa permukaan laut masih rendah. Hal ini juga telah
diketahui bahwa pada saat monyet-monyet tiba di Sulawesi dari Kalimantan, binatang-binatang
seperti tarsier/tarsius mungkin telah menyeberang antara Sulawesi dan
Kalimantan atau sebaliknya melalui rantai pulau yang berhubungan dengan
Filipina. Hal yang sama juga mungkin benar terjadi pada anoa yang memiliki
hubungan yang paling dekat, tumaraw (Bubalus mindorensis) sebuah species yang
ditemukan di Filipina.
- Quaternary (Pleistocene 1 juta tahun -10,000 tahun yang lalu) dan Holocene (10,000 tahun yang lalu sampai sekarang)
Deposit-deposit
endapan terletak sepanjang pantai barat Sulawesi dan deposit-deposit danau -
endapan tanah liat, pasir dan batu kerikil - terbentuk di lembah-lembah yang
ada. Deposit-deposit tersebut membentuk dasar-dasar horisontal di dalam daerah
sebelah Barat Sulawesi dan sekarang menutupi wilayah-wilayah penting dari TNLL.
Sedikitnya
7.000 tahun lalu, permukaan laut kira-kira 180 meter lebih rendah dari
permukaan yang ada saat ini. Pada masa ini, Selat Makassar lebih dalam sampai
2.000 meter, tetapi sangat sempit. Hal ini menimbulkan spekulasi-spekulasi
sampai sejauh mana spesies yang ada mampu menyeberangi dua daratan yang
terpisah. Spesies tersebut secara jelas menyeberang, tetapi hal ini umumnya
diterima bahwa tidak pernah ada koneksi daratan kering. Secara jelas jalur laut
tidak akan menimbulkan masalah bagi spesies burung dan mamalia. Species amphibi
di lain pihak akan menemui kesulitan lebih besar pada saat menyeberang
disebabkan karena kondisi salinitas yang ada.
Sebagai
hasil dari penyatuan empat daerah, mungkin juga lima, untuk membentuk pulau
Sulawesi, sebuah geologi yang kompleks berdiri saat ini. TNLL biasanya diduga
berada di sebelah utara akhir dari daerah sebelah Barat Sulawesi. Wilayah ini
memiliki kompleksitas yang tinggi, dimana tiga daerah utama (sebelah Barat,
Timur dan Utara) bertabrakan satu sama lain. Terdapat juga faktor tambahan pada
dasar cabang sebelah utara yang lebih kecil dan telah bergabung diantara tiga
bagian yang lainnya. Hal ini mungkin saja terjadi karena TNLL dapat membentuk
sedikitnya sebagian dari unit yang kecil ini. Tidak mengherankan, banyak
terdapat lipatan dan perubahan bentuk dari massa daratan sejak pulau ini
terbentuk pertama kali dan hal ini telah membentuk pegunungan di wilayah TNLL.
TNLL dan
wilayah sekitarnya merupakan Zona Tektonik Palu. Menurut laporan ANZDEC tahun 1997,
daerah ini secara aktif dan mengandung banyak garis patahan. Patahan Palu-Koro
(Fossa Sarasina) mencatat gerakan yang perlahan beberapa sentimeter dalam
setahun. Gempa bumi dahsyat terakhir di wilayah ini terjadi pada tahun 1902. Gempa
bumi-gempa bumi kecil dan getaran-getaran bumi sering terjadi dan sebuah
analisa dari gerakan saat ini sepanjang garis-garis patahan utama Sulawesi
memberikan prediksi bahwa pulau ini akan mengalami fragmentasi di masa depan.
Batu-batuan vulkanis Miocene terjadi di TNLL, tetapi tidak ada kegiatan aktif
gunung berapi di daerah tersebut. Walaupun demikian, terdapat banyak sumber
mata air panas (geothermal), beberapa di antaranya diindikasikan pada peta
geologi. Kegiatan vulkanis yang terdekat terletak pada ujung dari cabang akhir
sebelah utara dari pulau Sulawesi.
Pegunungan
TNLL dibentuk pada zaman Pliocene dan Miocene sekitar 25-3 juta tahun lalu,
sebagai hasil dari aktivitas plat tektonik yang menyebabkan pergerakan naik
massa daratan. Permukaan lembah-lembah yang datar, besar, dan subur, seperti
Besoa dan Napu adalah ciri dari TNLL dan wilayah sekitarnya. Terjadi perubahan
luas karena bertambahnya endapan. Danau Lindu sebelumnya lebih luas dari
sekarang, hal ini terlihat dari endapan tanah alluvial yang dihanyutkan air membentuk
daerah dengan materi deposit berpasir sampai berbatu. Tanah pegunungan
kebanyakan terbentuk dari proses pelapukan batuan induk atau batu granit,
batu-batu metamorphis schists dan batu gneiss yang membentuknya.
Taman Nasional Lore Lindu diikat oleh tiga ciri
utama:
Patahan Palu Koro:
Merupakan
patahan strike-slip utama barat laut-tenggara. Bersifat komposit yang pada
peta-peta geologi ditunjukkan sebagai beberapa garis patahan sub-paralel. Di
dalamnya termasuk patahan Fossa Sarasina, menetapkan tiga jalan lembah sungai
yang menandai ujung panjang sebelah barat Taman Nasional: Sungai Palu, mengalir
ke barat laut, Sungai Haluo, mengalir ke barat daya, Sungai Lariang, mengalir
ke barat laut. Pada umumnya, batas Taman Nasional Lore Lindu berjalan paralel dengan
sungai-sungai di atas pada jarak 1 sampai 5 km.
Patahan Dorongan Poso:
Patahan utama
utara-selatan ini menandakan garis pembagian antara Daerah sebelah Barat dan
Utara Sulawesi. Batas sebelah utara Taman Nasional, antara Sedoa dan Lelio,
terletak kira-kira paralel ke arah patahan pada jarak antara 5 sampai 15 km.
Dorongan Poso mempengaruhi topografi yang dekat dengan Taman Nasional. Patahan
besar Tawaelia saat ini adalah sebuah ciri berhubungan yang menerangkan jalan
dari Lembah Sungai Lariang karena melewati bagian yang lebih rendah dari
sebelah utara Taman Nasional. Batas Taman Nasional terutama mengikuti bagian
barat dari lembah sungai ini pada jarak 1 sampai 5 km.
Lembah Palolo-Sopu:
Lembah-lembah
sungai ini mengikat Taman Nasional Lore Lindu sepanjang ujung bagian utaranya.
Wilayah ini merupakan salah satu daerah pertanian utama yang bersebelahan
dengan Taman Nasional.
Taman
Nasional Lore Lindu dan wilayah sekitarnya terletak di dalam Zona Tektonik
Palu. Daerah ini secara seismik aktif dan mengandung banyak garis patahan.
Patahan Palu-Koro (Fossa Sarasina) mencatat gerakan yang perlahan beberapa
centimeter dalam setahun (ANZDEC 1997/no 5). Sepanjang ujung sebelah barat dari
Taman Nasional, orientasi patahan adalah barat laut-tenggara. Bergerak dalam
arah utara dan timur, patahan-patahan tersebut secara bertahap membentuk sebuah
orientasi arah timur-barat.
Gempa bumi
dahsyat terakhir di wilayah ini terjadi pada tahun 1902. Gempa bumi-gempa bumi
kecil dan getaran-getaran bumi sering terjadi dan sebuah analisa dari gerakan
saat ini sepanjang garis-garis patahan Sulawesi utama memberikan prediksi bahwa
pulau ini akan, pada masa yang akan datang mengalami fragmentasi. Batu-batuan
vulkanis Miocene terjadi di Taman Nasional Lore Lindu, tetapi tidak ada kegiatan
aktif gunung berapi di daerah tersebut. Walaupun demikian, terdapat banyak
sumber mata air geothermal, beberapa di antaranya diindikasikan pada peta
geologi. Kegiatan vulkanis yang terdekat terletak pada ujung dari cabang akhir
sebelah utara dari pulau Sulawesi.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Metode
Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data pada makalah ini adalah
dengan metode wawancara dan observasi. Dimana kami melakukan wawancara dengan
penduduk desa, tepatnya sekretaris desa, di Desa Pakuli. Pakuli adalah
nama desa yang berada di wilayah penyangga Taman Nasional Lore Lindu. Desa ini
secara administratif berada di kecamatan Gumbasa , Kabupaten Sigi. Pakuli
berjarak 40 km ke arah Selatan dan kota Palu.
Pakuli, sebagai sebuah desa yang dekat dengan Taman Nasional Lore
Lindu, telah lama memanfaatkan berbagai macam tumbuhan untuk bahan pengobatan
tradisional. Hash penelitian menemukan 287 dan 41 5 jenis bahan tumbuhan obat
tradisional yang dipergunakan, diperoleh dan kawasan Taman Nasional Lore Lindu.
Pakuli berada 300 meter diatas permukaan laut dan merupakan kawasan dengan
ketinggian terendah di TNLL. Burung yang biasa dijumpai di lokasi ini
diantaranya : Burung Maleo, Burung Gosong Filipina, Cabak Sulawesi, Kapasan
Sulawesi, Kepodang ungu tungging putih.
Sedangkan untuk pengumpulan data secara observasi dilakukan dengan cara
mendatangi langsung desa Pakuli tersebut. Walaupun hanya sebagian kecil wilayah
taman nasional Lore Lindu yang terlihat, namun dapat digambarkan bagaimana
keadaan taman nasional tersebut.
4.2 Analisis
Data
1. Mengenai Taman Nasional
- Potensi kawasan :
Taman Nasional Lore Lindu merupakan
kawasan datar, bergelombang, berbukit dan bergunung-gunung dengan kisaran
ketinggian antara 500 - 2.600 m dpl. Puncak gunung tertinggi adalah G. Rorekatimbu
(± 2.355 m dpl). Mempunyai iklim tropis dengan rata-rata curah hujan di wilayah bagian Utara
antara 2.000 - 3.000 mm per tahun dan wilayah bagian Selatan antara 3.000 -
4.000 mm per tahun. Musim kunjungan terbaik antara bulan Juli s/d September.
Suhu udara 22° - 34° C. Taman Nasional Lore Lindu terdiri dari
hutan pamah tropika, hutan pegunungan bawah, hutan pegunungan sampai hutan
dengan komposisi jenis yang berbeda-beda.
- Kegiatan yang ditawarkan :
- Rekreasi dan pariwisata alam antara lain lintas hutan, pengamatan satwa, jungle tracking, foto hunting, hiking, berkemah, memancing, air terjun dan sebagainya.
- Penelitian.
- Budaya setempat
- Fasilitas yang tersedia :
Kantor, pondok jaga, pos jaga, pintu gerbang, pusat informasi, camping ground, wisma tamu, menara pandang/pengamat, shelter, jalan trail dan lain-lain. - Informasi lainnya :
- Terdapat kumpulan megalitik yang merupakan salah satu monumen megalitik terbaik di Indonesia.
- Salah satu yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai paru-paru dunia (Cagar Biosfer).
- Belum ada pengusahaan pariwisata alam.
· Potensi Flora dan Fauna
Potensi
Flora
Lore Lindu mempunyai iklim tropika dengan kelembaban tinggi.
Hujan turun sepanjang tahun, dengan masa curah hujan paling deras terjadi pada
saat muson utara, yang berlangsung pada bulan November-April. Dalam kawasan
TNLL terdapat berbagai tipe hutan menurut ketinggian. Pada tipe Hutan Dataran
Rendah dengan ketinggian kurang dari 1000 m dpl, terdapat banyak jenis yang
mudah dijumpai seperti rotan (Calamus spp), pohon Ara (Ficus spp), Aren (Arenga
pinnata), Pangi (Pangium
edule) yang buahnya merupakan bahan makanan nasional yang
terkenal dengan nama rawon, dan pohon Artocarpus spp yang kulit batangnya dapat
dibuat menjadi kain kulit kayu yang bagus.
Salah satu pohon yang amat terkenal adalah Leda (Eucalyptus deglupta).
Pohon ini mudah dikenali dengan dengan kulit batangnya licin, berpola mencolok
berwarna hijau-merah muda. Diatas
ketinggian 1000 mdpl kita bisa menjaumpai tipe hutan Pegunungan rendah (Lower
Montane Forest), disini banyak tumbuhan epifit ditemukan diantaranya termasuk
88 jenis anggrek dalam kawasan TNLL. Spesies kayu yang penting seperti damar (Agathis
damara) getahnya dapat disadap untuk campuran vernis,pelapis
lantai, atau dipakai penduduk lokal untuk bahan bakar obor. Pada puncak yang
paling tinggi diatas ketinggian 2000 m dpl, merupakan Hutan Kayu Elfin, kanopi
pohon semakin jarang, pohon pendek-pendek, berdaun kecil dan tebal. Lumut
tumbuh dengan subur dan tebal menutupi lantai hutan. Tumbuhan yang unik di
daerah ini adalah Kantung Semar (Nephentes sp) yang
mengambil makanan tambahan berupa serangga.
Potensi Fauna
Kawasan TNLL merupakan habitat alami mamalia asli terbesar di
Sulawesi, Anoa pegunungan (Bubalus
quarlesi) dan Babirusa (Babyrousa babyrousa).
Jenis mamalia lain yang ditemukan antara lain Babi kutilan (Sus celebensis), Rusa (Cervus timorensis),
Musang raksasa Sulawesi (Macrogalidia
musschenbroeckii), Kus-kus marsupial, Kera hantu (Tarsius sp), dan monyet
Tonkea (Macaca tonkeana).
Sementara hampir semua jenis burung yang terdapat diSulawesi bisa dijumpai di
sini. Jenis burung yang terdapat dikawasan TNLL sekitar 224 jenis, 97 termasuk
jenis yang endemik Sulawesi. Beberapa spesies kunci yang terdapat seperti
burung Allo (Rhyticeros
cassidix) memainkan peran penting dalam regenerasi
hutan.dan burung Maleo (Macrocephalon
maleo).
Untuk keanekaragaman hayati Taman Nasional Lore Lindu jumlah
spesies yang terdapat didalamnya. Dimana keanekaragaman hayati burung di TNLL
terdapat 267 species burung (70%) dari total 384 species burung yang ada
Sulawesi. Jumlah spesies mamalia di TNLL terdapat 113 spesies (89%) dari 127
mamalia yang terdapat di P. Sulawesi. Jumlah spesies reptil terdapat 24 spesies
(23%) dari total 103 reptil (tidak termasuk penyu) Sulawesi. Sekitar 21 spesies
Amfibia (67%) dari 31 spesies amfibia Sulawesi.
2. Mengenai
Dampak Lingkungan
1) Aspek
Fisik dan Kimia
Hal-hal khusus tersebut dapat
disusun sebagai berikut :
a. Dalam
melakukan identifikasi bahan pencemar, maka perlu diketahui sumber dan macam
pencemar dari tiap aktivitas di lingkungan.
b. Menentukan
keadaan komponen lingkungan yang akan terkena bahan pencemar.
c. Mempelajari
pola penyebaran dari bahan pencemar yang dikeluarkan dari aktivitas di
lingkungan. Untuk dapat mengetahui hal tersebut perlu diketahui data
metereologi, hidrologi, dan hal-hal lain yang menunjang penyebarannya.
d. Membandingkan
dan membahas hasil perhitungan dampak dengan Baku Mutu yang berlaku.
2) Aspek
Biologis
Hal-hal khusus tersebut dapat
disusun sebagai berikut :
a.
Dampak pada spesies langka, spesies yang akan punah dan
yang dilindungi undang-undang. Karena tiap kehidupan di alam selalu membentuk
masyarakat maka perlu diketahui bentuk ekosistem, tipe-tipe vegetasi dan
suksesi-suksesi alam yang sedang terjadi.
b.
Dampak pada aspek biologis banyak terjadi melalui
dampak tidak langsung dari aktivitas di samping dampak langsung. Maka perlu
diperhatikan timbulnya dampak tidak langsung, misalnya perubahan tatguna tanah,
perubahan pemukiman, perubahan mata pencaharian, dan lain sebagainya.
3) Aspek
Sosial-Ekonomi
Hal-hal khusus tersebut dapat
disusun sebagai berikut :
a.
Sering terdapat hal-hal yang merupakan masalah yang
kritis dan sensitif bagi masyarakat setempat dan hal-hal tersebut akan berbeda
di tempat lain. Hal-hal tersebut haruslah diketahui karena dampak yang akan
terjadi pada hal yang kritis dan sensitif akan selalu berdampak besar.
b.
Dampak tidak langsung juga dapat berdampak besar pada
sosial-ekonomi baik yang datang dari aspek fisik, biologis maupun
sosial-budaya, sehingga perlu pendugaan dampak tak langsung yang cermat.
c.
Dampak yang perlu diperhatikan adalah yang terjadi
secara berurutan. Misalnya, meningkatkan pendapatan akan menimbulakn gizi
makanan, kemudian akan meningkatkan kesehatan juga dan meningkatkan permintaan
akan barang, pendidikan dan jasa lainnya. Dampak pada satu komponen
sosial-ekonomi juga dapat menimbulkan dampak pada hubungan antara manusia
sehingga dapat menimbulkan perpindahan mata pencaharian, perpindahan tempat
pemukiman, mobilitas dan lain sebaginya.
4) Aspek
Sosial-Budaya
Hal-hal khusus tersebut dapat disusun
sebagai berikut :
a. Melakukan
identifikasi kebudayaan yang ada.
b. Nila-nilai
yang perlu dipertahankan dari sudut arkeologi, buday, sejarah perjuangan,
teknik dan lain sebagainya.
c. Nilai-nilai
yang unik dari sudut ekologi, geologi, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya.
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Analisis Interaksi Lingkungan ABC dan M
dengan Melakukan Pendekatan Antroposentris dan Pendekatan Holistik
Komunitas
bumi dalam krisis. Tidak ada yang bisa menyanggah pernyataan dan kenyataan
tersebut. Selain adanya konflik ekonomi, sosial-politik dan peperangan, krisis
yang mengancam lebih banyak orang adalah krisis lingkungan hidup. Secara umum,
krisis lingkungan hidup didorong oleh dua hal berikut ini, yaitu:
1.
Pertambahan penduduk yang begitu pesat yang menuntut pemenuhan kebutuhan
yang tak terbatas (bahan makanan, bahan bakar, energi, dan sebagainya).
2.
Kemajuan di pelbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)
Krisis
ini sebenarnya sudah lama terjadi, namun agaknya manusia (secara keseluruhan)
belum menyadari akan bahaya laten yang terdapat di dalamnya. Manusia masih
asyik menjadi penguasa alam semesta. Manusia belum
menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari alam semesta ini, sehingga krisis
lingkungan hidup belum menjadi perhatian bersama. Padahal, dari berbagai
definisi tentang lingkungan hidup yang ada, kita diingatkan bahwa lingkungan
hidup adalah bagian dari kita dan kita adalah bagian dari lingkungan hidup; dan
keduanya saling berinteraksi dalam sebuah ekosistem.
Bumi
semakin rusak karena keserakahan manusia. Akibatnya, frekuensi dan eskalasi
bencana di muka bumi yang disebabkan oleh perilaku manusia (man made
disaster) dan akibat kebijakan (policy made disaster) semakin
meningkat. Perusakan bumi akibat kebijakan adalah yang paling berbahaya. Karena
hal tersebut dilakukan secara sistematis, terlembaga, rapi, dan “sah” secara
hukum, yang dilakukan atas nama kebijakan pemerintah, atas nama pendapatan dari
aktivitas perusahaan, serta atas nama legitimasi lembaga politik dan legitimasi
ilmu pengetahuan dari lembaga pendidikan ataupun konspirasi mereka dalam sebuah
jejaring untuk memperdagangkan bumi.
Pemanasan
global yang berakibat pada perubahan iklim (climate change) belum
menjadi mengedepan dalam kesadaran multipihak. Pemanasan global (global
warming) telah menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia, terutama
negara yang mengalami industrialisasi dan pola konsumsi tinggi (gaya hidup
konsumtif). Tidak banyak memang yang memahami dan peduli pada isu perubahan
iklim. Sebab banyak yang mengatakan, memang dampak lingkungan itu biasanya
terjadi secara akumulatif. Pada titik inilah masalah lingkungan sering dianggap
tidak penting oleh banyak kalangan, utamanya penerima mandat kekuasaan dalam
membuat kebijakan.
Berdasarkan hasil wawancara kelompok kami yang di lakukan di Desa Pakuli,
maka kami dapat memperoleh data sebagai beikut :
·
Tentang Desa
Pakuli
Menurut sekretaris desa tersebut, Mohammad Sabir, yang telah menjabat dari
tahun 2002 mengatakan bahwa desa Pakuli memiliki penduduk sebanyak 3.959 jiwa
(sensus penduduk tahun 2011). Desa Pakuli sudah ada sejak zaman penjajahan
dengan luas wilayahnya mencapai 4 x 4
. Mata
pencaharian penduduknya sebagian besar menjadi petani baik sawah maupun kebun. Desa
Pakuli merupakan salah satu dari 47 desa penyangga yang di Taman Nasional Lore
Lindu. Desa Pakuli juga dijuluki sebagai kebun obat karena di desa ini bisa
ditemukan berbagai jenis tanaman obat yang sengaja dibudidayakan dan
dimanfaatkan oleh masyarakat desa setempat. Selain itu, desa Pakuli juga
merupakan tempat penangkaran burung endemik Sulawesi Tengah yaitu burung maleo.
·
Sistem
Pendidikan
Masih
data yang diperoleh dari bapak Mohammad Sabir, sekretaris desa Pakuli, beliau
mengatakan bahwa di desa ini telah didirikan sekolah mulai dari Taman
Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama maupun Sekolah Menengan
Atas. Pada sistem pendidikannya, desa Pakuli sudah melaksanakan wajib belajar 9
tahun. Untuk kurikulum, pengurus sekolah sudah memasukkan materi mengenai seluk
beluk taman nasional Lore Lindu ke dalam mata pelajarn mulok. Hal ini bertujuan
untuk memperkenalkan kepada generasi muda untuk lebih menjaga dan melestarikan
apa yang telah ada di taman nasional itu.
·
Sistem
Kesehatan
Di
desa Pakuli sendiri, Bapak Mohammad Sabir selaku sekretaris desa mengatakan
bahwa di desa ini sudah ada puskesmas sebagai tempat pelayanan kesehatan
masyarakat. Beberapa penyakit yang sering diderita oleh masyarakat yaitu
malaria. Hal ini sudah tentu terjadi karena desa Pakuli merupakan desa yang
berbatasan langsung dengan hutan di taman nasional. Banyak spesies fauna yang
mungkin beberapa diantaranya dapat membawa penyakit seperti nyamuk. Kemudian
puskesmas di desa ini juga melakukan pemeriksaan kesehatan setiap bulan secara
cuma-cuma alias gratis kepada masyarakat. Untuk bahan obat-obatan yang
digunakan, masyarakat desa Pakuli menggunakan obat tradisional dan obat medis.
Misalnya saat ada yang mau melahirkan, walaupun orang-orang telah mendatangkan
dukun tetapi mereka juga tetap meminta bantuan bidan setempat. Jadi sebuah kerjasama
antara pengobatan ala di desa dengan pengobatan medis.
·
Pengelolaan
Terhadap SDA di Taman Nasional Lore Lindu
Dengan
adanya mata pencaharian sebagi petani, otomatis masyarakat yang bekerja di desa
ini memanfaatkan segala sesuatu yang ada di alam sekitarnya mulai dari lahan,
keanekaragaman hayati dan sebagainya. Bahkan sebagian dari mereka memanfaatkan
lahan yang di taman nasional sebagai tempat mencari kebutuhan hidup. Misalnya
membuka kebun, dan mengambil rotan, kayu serta bambu. Bahan-bahan seperti
rotan, kayu, atau bambu digunakan untuk membangun pemukiman baru, masjid,
sekolah dan peralatan lainnya. Tidak terlepas dari adanya peraturan yang
berlaku, tentu saja masyarakat tahu dengan batasan-batasan yang diberikan
pemerintah untuk mengelola lahan di taman nasional. Sehingga mereka tidak
semena-memena atau seenaknya mengambil sesuatu dari taman nasional Lore Lindu
yang dijadikan cagar alam biosfer dunia tersebut. Untuk mengoptimalkan
perekonomian masyarakatnya, maka dibangunlah sebuah bendungan lengkap dengan
irigasinya. Air dari bendungan ini berfungsi mengaliri setiap lahan sawah atau
kebun yang ada di desa Pakuli. Bahkan juga dimanfaatkan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan MCK.
5. 2 Dampak Lingkungan Hasil Interaksi
·
Dampak
Biologis
Dampak
biologis ini sering disebut juga sebagi dampak ingkungan biologis, karena
faktor-faktor biologis yang berbentuk sebagai flora dan fauna merupakan bagian
dari lingkungan biologis. Dampak biologis juga biasanya sangat erat hubungannya
dengan terjadinya dampak atau perubahan pada tataguna tanah.
Pada
daerah yang kami teliti yaitu taman nasional Lore Lindu, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
dan Perkebunan No. 464/Kpts-II/1999 tanggal 23 Juni 1999, Taman Nasional Lore
Lindu dikukuhkan dengan luas kawasan 217.991,18 ha, luas inilah yang menjadi
dasar pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu saat ini. Namun luas ini semakin
berkurang karena banyaknya pengelolaan yang tidak terkendali. Kemudian adanya
penyusutan habitat flora dan fauna karena luas hutan juga semakin berkurang.
Perusakan Meningkat
Mantan Menristek BJ Habibie pernah mengingatkan, seluruh kawasan hutan yang
berada di Garis Wallace sama sekali tidak boleh diganggu untuk kepentingan apa
pun, karena akan merusak ekosistem asli yang sangat spesifik. Tapi benarkah
demikian? Manajer Program The Nature Conservancy (TNC) Palu Duncan Neville yang
ditemui Pembaruan di Palu baru-baru ini mengungkapkan, dalam dua tahun
belakangan ini aktivitas perusakan hutan TNLL semakin meningkat dan
memprihatinkan. Perusakan itu berupa pengambilan kayu, rotan, damar dan
berbagai hasil hutan lainnya. Penebangan kayu, kata Duncan, menggunakan chain
saw (gergaji mesin) tanpa terkendali. Akibatnya dalam sekejap saja seluruh kayu
di sekitarnya ludes dan beberapa kawasan hutan menjadi gundul. ''Jika tak
segera diantisipasi, dikhawatirkan hutan langka ini mengalami kehancuran.
Diperlukan negosiasi dua arah yang kuat antara pemerintah dan masyarakat jika
ingin kelestarian hutan TNLL tetap terpelihara," kata warga AS yang sudah
7 tahun berkecimpung di TNLL. Apa yang dikatakan Duncan tersebut, bukannya
tidak terbukti secara hukum. Data Balai TNLL menunjukkan, setiap tahun
ditemukan rata-rata 50 kasus pencurian hasil hutan terutama kayu dan rotan.
Para pelakunya, menurut Kepala Balai TNLL Banjar Yulianto, sudah dikenakan
sanksi dan sebagian melibatkan oknum petugas polisi kehutanan (Polsus) dan
Polri setempat.
Penyebab kerusakan hutan TNLL sebetulnya tidak semata karena pencurian kayu
dan rotan, tetapi juga akibat perburuan fauna-fauna endemik seperti anoa dan
babi rusa serta perambahan untuk pembukaan kebun cokelat dan kopi. Diperkirakan
lebih dari 30.000 hektare areal hutan TNLL kini sudah berubah fungsi menjadi
kebun kopi dan cokelat. Sebagian dijadikan lokasi permukiman oleh para
pendatang dari luar Sulteng yang terus membanjiri kawasan ini guna mencari
akses-akses baru bagi kehidupannya. Pemda Sulteng kelihatannya tidak bertindak
mencegahnya.
Problem Penduduk
Problem Penduduk
Berdasarkan data Bappeda Sulteng, di sekitar hutan TNLL kini bermukim
kurang lebih 120.000 jiwa penduduk tersebar di 60 desa dalam 5 kecamatan, yakni
Kecamatan Kulawi, Sigi Biromaru, Palolo, Lore Utara dan Lore Selatan. Mereka
hidup sebagai petani sawah atau kebun/ladang. Sejak kawasan ini ditetapkan
sebagai TNLL berdasarkan SK Menhut No. 593/Kpts-II/93 tanggal 5 Oktober 1993,
muncul masalah sosial antara keberadaan TNLL dengan penduduk asli yang hidup
dan bermukim di dalamnya. Penduduk asli merasa lahan usaha yang menafkahi hidup
mereka selama ini semakin menyempit akibat penetapan tapal batas TNLL.
Sepertinya tak ada lagi ruang gerak bagi penduduk untuk bisa memanfaatkan
hutannya secara leluasa seperti dulu,bahkan terancam akan direlokasi.
Kondisi ini membuat masyarakat diliputi kegelisahan yang berkepanjangan dan
mereka terpaksa bolak-balik ke kantor DPRD Sulteng, Poso maupun Donggala,
memperjuangkan nasib agar tidak dipinggirkan dari permukiman aslinya karena
kepentingan konservasi TNLL. Direktur Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu Arianto
Sangaji yang melakukan pengkajian khusus atas pengelolaan konservasi berbasis
masyarakat di TNLL mengatakan, pemerintah sering mengarang cerita yang menyebut
penduduk sebagai perusak hutan.
Penduduk di sekitar TNLL dituduh sebagai perusak hutan, pencuri kayu, rotan
dan berbagai hasil hutan lainnya. Dengan mengarang cerita seperti timbul
gagasan untuk memindahkan mereka ke lokasi lain. Padahal tudingan semacam itu
sama sekali tak beralasan dan tidak menggambarkan realitas sesungguhnya. Sebab
kerusakan hutan yang bersumber dari masyarakat, tidaklah sebanding dengan
kerusakan akibat pembabatan kayu untuk kepentingan pengusaha HPH atau proyek
perkebunan berskala besar. "Landasan berpikir yang cenderung menyingkirkan
hak masyarakat adat atas teritorial asli di TNLL harus diubah dengan sistem
pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat, bersahabat dengan penduduk
asli," kata Arianto.
Dalam kasus TNLL, katanya, masyarakat bermukim di pinggiran maupun dalam
hutan TNLL, pada dasarnya memiliki regulasi sendiri dalam pemanfaatan sumber
daya agraria tanpa merusak hutan. Contoh kasus, masyarakat Besoa dan Katu,
Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, yang desanya berada dalam zona penyangga
TNLL memanfaatkan hutan secara turun-temurun berdasarkan kearifan-kearifan
tradisional yang sangat menjunjung tinggi upaya pelestarian hutan. Problem
penduduk dalam TNLL yang sangat kompleks dan terkait erat dengan struktur
budaya dan kultural masyarakat, memang, tidaklah mudah menanganinya. Diperlukan
implementasi pengelolaan konservasi yang benar-benar mampu mengakomodasikan
hubungan antarmanusia dan alamnya.
Sistem Zonasi
Sistem Zonasi
Tetapi sampai kini pihak TNLL mengakui belum punya rumusan yang rinci
mengenai pengelolaan taman nasional yang berbasis masyarakat. Yang dimiliki
adalah konsep pengembangan berdasarkan sistem zonasi atau mintakat (daerah
lingkungan) dengan mempertimbangkan keadaan potensi dan kepentingan konservasi
nasional dan internasional, kata Helmy, Kasie Pengelolaan pada Balai TNLL.
Konsep zonasi itu terdiri atas zona inti (55.625 ha) di dalam kawasan TNLL
yang mutlak dilindungi untuk pelestarian flora, fauna dan ekosistemnya dan
hanya bisa dimasuki untuk tujuan pengelolaan dan penelitian. Zona rimba
(137.160 ha), diperuntukkan bagi kepentingan pembinaan habitat dan populasi
satwa serta kepentingan hidrologi. Zona ini merupakan kawasan tanpa adanya
bangunan/gedung, dapat dimasuki pengunjung secara terbatas dengan berjalan kaki
atau berkuda. Lalu ada zona pemanfaatan intensif (7.100 ha) diperuntukkan
sebagai lokasi pembangunan sarana/prasarana pengelolaan dan fasilitas penunjang
kegiatan wisata alam. Zona pemanfaatan tradisional (18.490 ha) berfungsi
menyediakan kebutuhan subsistem bagi penduduk desa sekitar kawasan taman
nasional yang tidak dapat menabrak zona penyangga. Zona ini juga berfungsi
sebagai daerah penyangga terletak di dalam kawasan taman nasional.
Zona Danau Lindu dan Besoa (10.625 ha) merupakan daerah budi daya dan
permukiman penduduk. Kawasan ini diusulkan untuk ditetapkan sebagai daerah
enclave (kantong permukiman) dan dikeluarkan dari TNLL. Dan zona penyangga
(35.000 ha), zona terakhir yang berada di luar/sekitar kawasan taman nasional
berfungsi menyediakan kebutuhan penduduk desa sekitar kawasan dalam jangka
panjang.
Pembangunan Masyarakat
Pembangunan Masyarakat
Minimnya dana menjadi salah satu kendala bagi aparat Balai TNLL untuk
mengawasi dan mengantisipasi kemungkinan pelanggaran dalam hutan lindung itu.
Hal menggembirakan sejumlah aktivis LSM maupun Bappeda Sulteng telah bisa
merumuskan upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar TNLL yang bisa
memberi nilai tambah tanpa mesti mengganggu kawasan hutan lindung. Misalnya
memberikan pelatihan pada masyarakat tentang cara membuka peluang usaha
produktif memanfaatkan potensi sumber daya alam (SDA) hutan TNLL sehingga
terjalin interaksi positif antara masyarakat dan hutan itu sendiri.
Pembangunan masyarakat juga dilakukan TNC (LSM di Honolulu, AS) dengan
memberikan pengetahuan luas bagi masyarakat tentang budi daya ulat sutera, budi
daya kupu-kupu dan lebah madu, kerajinan kulit kayu, anyaman serta usaha
agribisnis lainnya yang memiliki nilai jual kompetitif di pasar domestik maupun
ekspor.
TNC kini tengah melakukan kegiatan pemetaan serta penginderaan jarak jauh
guna mengindentifikasi sejauh mana kondisi TNLL serta kemungkinan pemanfaatan
yang bisa dikembangkan demi keberlangsungan kawasan serta kesejahteraan
penduduk setempat. Kegiatan pemetaan yang partisipatif juga dilakukan YTM guna
membantu masyarakat mendapatkan hak-hak agrarianya untuk dikelola sesuai
kearifan-kearifan lokal.
Kadis Pariwisata Sulteng Liberty Pasaribu mengatakan, dalam dunia
pariwisata internasional, kawasan TNLL menjadi salah satu daerah tujuan wisata
(DTW) yang sangat digandrungi para turis. Untuk mengatasi atau memecahkan
masalah di TNLL, tampaknya yang dibutuhkan adalah keterpaduan pikiran untuk
menjadikan kawasan itu sebagai wilayah lestari yang tidak meminggirkan penduduk
lokal. Artinya, bagaimana menjaga agar riak sungai tetap menawan, pegunungan
pun tersapu awan putih, kicau burung terus kedengaran dan penduduk tetap
bersahabat dengan lingkungan tempat mereka hidup.
·
Dampak Sosial-Ekonomi
Pembanguna suatu proyek sejak di dalam perencanaan
memang sudah bertujuan untuk meningkatkan soaial-ekonomi, sehingga secara
teoritis dampak setiap proyek haruslah positif bagi masyarakat setempat,
propinsi, nasional atupun internasional. Enyataannya yang dijumpai di lapangan
tidaklah selalu demikian. Sebut saja perencanaan pembangunan PLTA di area taman
nasional Lore Lindu.
Pembangunan PLTA Lore Lindu akan mengancam Taman Nasional Lore Lindu
(TNLL). Khawatir dengan ancaman pengrusakan TNLL, Direktur Jenderal (Dirjen)
Perlindungan dan Konservasi Alam (PKA) Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI,
melalui surat nomor 58/Dj-V/KK/2001 tertanggal 2 Februari 2001 kepada Kepala
Balai Taman Nasional Lore Lindu, memberikan beberapa pertimbangan. Di
antaranya, harus dicarikan alternatif lokasi lain (di luar kawasan TNLL) untuk
pembangunan sarana dan prasarana PLTA. Jika, tidak ada alternatif lain, maka
harus ada jaminan mengenai keutuhan kawasan TNLL.
Tetapi, harapan Dirjen
PKA itu tidak mungkin. Bukan apa-apa, tengok saja dokumen Studi Kelayakan dan
Andal PLTA Lore Lindu. Dari kedua dokumen itu dapat dilihat bagaimana daya
rusak pembangunan PLTA Lore Lindu terhadap kawasan konservasi terluas di
Sulawesi Tengah itu. Memang lahan untuk PLTA hanya sekitar 892 hektar, atau
sekitar satu persen dari luas TNLL. Tetapi, masalahnya adalah areal hutan
sekitar 10.000 hektar taman nasional diperlukan untuk pembangunan bendungan (regulating weir), terowongan (tunnel) berdiameter 2,9 meter
sepanjang 9,4 kilometer, dan pembangunan jalan masuk menuju Danau Lindu
sepanjang 23,5 kilometer dengan lebar 12 meter. Apa artinya?. Malapetaka,
karena begitu banyak tegakan hutan yang bakal dibongkar. Fauna khas Sulawesi,
seperti anoa, babirusa, tarsius spectrum akan lari tunggang langgang mendengar
deru buldozer. TNLL bakal menjadi tumbal PLTA Lore Lindu.
Tumbal kedua PLTA Lore
Lindu adalah penduduk yang saat ini menghuni dataran Lindu. Karena, sesuai
rencana, di mulut Danau Lindu akan dibangun bendungan dengan panjang 50 meter
dan tinggi 7 meter. Dengan demikian, permukaan air Danau Lindu secara otomatis
akan naik sekurang-kurangnya dua meter. Itu artinya, pemukiman dan lahan
pertanian penduduk di dataran Lindu mesti tenggelam. Setelah itu mereka akan
dipindahkan keluar dari wilayah itu.
Tolak PLTA Lore Lindu,
Pilih PLTM. Sesuai
namanya, baik PLTA maupun PLTM (pembangkit listrik tenaga mikrohidro),
sama-sama menjadikan air sebagai sumber tenaga listrik. Bedanya, PLTA merupakan
jenis pembangkit berkekuatan besar, sebaliknya PLTM berkekuatan kecil.
Biasanya, pembangkit dengan kapasitas sekitar 3 MW masih dikelompokkan sebagai
PLTM. Lebih dari itu sudah dianggap PLTA. Propinsi Sulawesi Tengah
memiliki potensi tenaga air yang bisa digunakan sebagai sumber tenaga listrik
sebesar 1.600 MW. Dari potensi tersebut, daerah aliran sungai (DAS) Poso
memiliki potensi 684 MW dan DAS Gumbasa sebesar 420 MW. Sisanya menyebar di
berbagai tempat di seluruh penjuru Sulawesi Tengah.
DAS Poso dan DAS Gumbasa
telah direncanakan oleh pemerintah untuk pembangunan PLTA. DAS Poso telah
dicanangkan untuk pembangunan PLTA Poso-3 dan DAS Gumbasa untuk PLTA Palu-3
atau populer dengan sebutan PLTA Lore Lindu. Sesuai tujuannya, kedua proyek
raksasa tersebut diharapkan dapat menyediakan listrik untuk keperluan industri
di Sulawesi Tengah.
Kadang luput dari
perhatian dalam perdebatan mengenai pembangunan PLTA Lore Lindu adalah
pembangunan kelistrikan yang adil untuk seluruh rakyat Sulawesi Tengah. Semua
retorika pejabat pemerintah atau para pendukung buta rencana pembangunan PLTA Lore
Lindu adalah bahwa PLTA tersebut diharapkan dapat menarik penanam modal ke
Sulteng. Bagaimana mungkin maskapai pertambangan transnasional milik Rio Tinto
seperti PT Palu Citra Mineral dan PT Mandar Uli Mineral mau menambang emas di
Poboya dan sekitar Lore Lindu atau PT Citra Cakra Murdaya mau menambang semen
di Donggala kalau listrik saja tidak cukup. Ringkas cerita, PLTA Lindu
dimaksudkan untuk memenuhi hasrat swasta.
Propaganda pendukung
PLTA Lore Lindu juga menjadikan kasus-kasus pemadaman listrik di Kota Palu
sebagai alasan untuk pembangunannya. Bagi mereka, pembangunan PLTA Lore Lindu
adalah jalan keluar untuk “menerangi” Palu sepanjang hari. Seolah-olah Palu
bakal kiamat, karena listriknya sering padam. Olehnya, pembangunan PLTA Lore
Lindu menjadi niscaya.
Pendukung PLTA Lore
Lindu mesti membuka mata lebar-lebar untuk melihat masalah kelistrikan Sulawesi
Tengah tidak saja dari masalah pemadaman listrik di Palu. Mereka mesti peka
melihat masalah listrik di Sulawesi Tengah secara utuh. Toh Palu masih beruntung,
karena listrik bisa menyala sepanjang hari. Sebaliknya, di berbagai tempat di
Sulawesi Tengah, listrik hanya ada di waktu malam, bahkan di beberapa tempat
cukup untuk separuh malam.
Lebih sial lagi, nasib
penduduk 550 desa di Sulawesi Tengah yang sama sekali belum menikmati listrik.
Rinciannya, di Kabupaten Banggai terdapat 140 desa, di Poso 218 desa, Donggala
119 desa, Buol Tolitoli 73 desa. Desa-desa di Kota Palu lebih beruntung, karena
semua desa sudah terlistriki. Seperti diketahui, data BPS Sulawesi Tengah tahun
2000 menunjukan bahwa dari 1.436 jumlah desa di propinsi ini, hanya 886 desa
yang sudah kebagian listrik. Membangun PLTA Lore Lindu adalah soal pelayanan
kepada kaum kapitalis dan warga Palu. Membangun PLTA Lore Lindu juga adalah
keputusan menggusur To Lindu dari tanah-tanah mereka. Ada yang diuntungkan dan
ada warga dibuntungkan.
Sebaliknya, membangun
belasan PLTM sama dengan melayani kepentingan ratusan ribu petani dan warga
desa di berbagai pelosok Sulawesi Tengah. Membangun PLTM merupakan soal
pemerataan pembangunan kelistrikan ke seluruh pelosok, bukan soal pembangunan
yang terpusat di Kota Palu. Oleh karena itu, perlawanan terhadap rencana
pembangunan PLTA Lore Lindu bukan saja menjadi perlawanan To Lindu atau
perlawanan Ornop semata. Tetapi, harus menjadi perlawanan seluruh rakyat di
Sulawesi Tengah, terutama rakyat yang menghuni 550 desa di Sulawesi Tengah yang
sampai hari ini belum menikmati listrik.
Bagi
masyarakat desa Pakuli endiri, pembangunan PLTA hanya akan lebih berdampak
positif di pemerintah, tetapi berdampak negatif pada rakyat. Mengapa? Karena
dengan dibangunnya PLTA, bendungan dan irigasi rakyat akan terganggu sehingga
menghambat pertanian yang ada. Menurut sekretaris desa Pakuli sendiri, mereka
akan mensahkan pembangunan PLTA tersebut jika dampak positif bagi masyarakatnya
lebih banyak.
BAB VI
KESIMPULAN DAN
REKOMENDASI
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh adalah :
1). Undang-Undang No
41 tahun 1999 tentang Kehutanan, mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya
alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan
lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan. Hutan
merupakan suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hidup dalam
lapisan dan permukaan tanah,
yang terletak pada suatu kawasan dan membentuk suatu ekosistem yang berada
dalam keadaan keseimbangan dinamis.
2). Kerusakan
hutan (deforestasi) masih tetap menjadi
ancaman di Indonesia. Menurut data laju deforestasi (kerusakan hutan) periode
2003-2006 yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan, laju deforestasi di
Indonesia mencapai 1,17 juta hektar pertahun.
3). Taman Nasional Lore Lindu memiliki
berbagai tipe ekosistem yaitu hutan pamah tropika, hutan pegunungan bawah,
hutan pegunungan sampai hutan dengan komposisi jenis yang berbeda. Secara
administratif terletak dalam 2 (dua) wilayah kabupaten yaitu sebagian besar di
Kabupaten Donggala dan sebagian lagi di Kabupaten Poso, terbagi dalam 6
kecamatan yaitu: Kecamatan Kulawi, Sigibiromaru, Palolo di Kabupaten Donggala
dan Kecamatan Lore Utara, Lore Selatan, Lore Tengah di Kabupaten Poso.
6.2 Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang dapat kami berikan adalah :
1). Upaya pengelolaan lingkungan di taman
nasional Lore Lindu seharusnya lebih ditingkatkan lagi, sehingga pembangunan
dapat berdampak positif kepada masyarakat yang ada di kawasan Lore Lindu.
2). Pemerintah daerah juga sebaiknya turun
langsung ke lapangan agar dapat melihat kondisi yang nyata dan yang ada
sekarang ini di taman nasional Lore Lindu, sehingga pemerintah tidak serba
salah dalam mengambil tindakan.